JENIS, FUNGSI,
DAN JUAL BELI UANG
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Kelompok
Mata Kuliah: Hadis Ahkam Ekonomi
Dosen Pengampu: Supangat, M.Ag
Disusun Oleh:
Faishal Arief (132311124)
Inayah Sholihah (132311132)
Atika Zulfa (132311134)
PROGRAM STUDI
MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Kiranya semua
pembaca setuju bahwasannya uang telah dikenal sejak berabad-abad lalu. Uang merupakan
pengakuan manusia berdasarkan proses budaya yang berakulturasi secara tunggal.
Maksudnya adalah terciptanya uang disebabkan oleh proses plagiarisme dari satu
suku bangsa ke suku bangsa lain. Uang juga menjadi media interaksi ekonomi antar
individu bahkan antar suku bangsa.
Menurut
analisis Davies Glyn (2008: 128-139), fakta sejarah mengatakan, sejak awal
manusia mengenal uang, telah terjadi evolusi dalam penggunaan benda sebagai
alat tukar. Coba kita uraikan mulai dari benda dengan benda lain yang saling
dipertukarkan (barter) sampai pada benda yang disebut uang baik berupa emas dan
juga kertas. Begitu dinamisnya perubahan uang dilihat dari konsep, fungsi serta
bentuknya, tentu hal itu menyisakan persoalan dikalangan umat Islam. Sehingga,
alangkah baiknya apabila kita memberikan sentuhan perhatian lebih untuk
mengkaji ulang konsep uang, khususnya yang merujuk spesifikasi pada sumber teks
hadis.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa saja jenis
uang yang terdapat dalam hadis?
B.
Apa fungsi
uang dalam hadis?
C.
Bagaimana jual
beli uang dalam kajian Hadis?
III.
PEMBAHASAN
A.
JENIS UANG
DALAM HADIS
Pada hakikatnya uang
selalu berubah-ubah dari jenis dan bentuknya. Jenis uang dapat diklasifikasikan
dari segi hakikat dan jenisnya tanpa memandang hubungannya dengan bangsa
tertentu. Maka jenis uang tersebut dibedakan ke dalam uang komoditas, uang
logam, uang kertas, dan uang bank.[1]
Ada beberapa jenis uang yang juga disebutkan dalam hadis Nabi yang langsung
menunjuk kepada nama uang itu sendiri. Diantaranya
yaitu:
1.
Dirham (Uang Perak)
dan Dinar (Uang Emas)
حدثنا يحي بن سليمان حدثنا بن وهب
اخبرنا بن خريج عن عطاء وابي الزبير عن جابر رضي الله عنه قال : نهي النبي صلى
الله عليه وسلم عن بيع الثمر حتى يطيب ولا يباع شيء منه الا باالدينار والدرهام
الا العرايا
“Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahab telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dari 'Atho' dan Abu Az Zubair
dari Jabir radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
melarang menjual buah (dari pohon) kecuali telah nampak baiknya dan tidak boleh
dijual sesuatupun darinya kecuali dengan dinar dan dirham kecuali 'arayya".
(H.R. al-Bukhari).
Hadis di atas menyatakan bahwa dinar (uang
emas) dan dirham (uang perak) digunakan sebagai alat bayar dalam transaksi
terhadap barang (buah-buahan). Pada sisi lain hadis tersebut juga melarang
menjual buah yang belum masak, kecuali dalam keadaan darurat seseorang
diperbolehkan menjual kurma yang masih di tangkainya dengan pembayaran yang
bukan dengan dinar atau dirham melainkan dengan kurma yang sudah masak dan
sudah dipetik dari tangkainya. Transaksi ini disebut dengan ‘arayya.[2]
2.
Zahab (Emas) dan Wariq
(Uang Perak)
حدثنا محمد بن مقاتل اخبرنا عبدالله
اخبرنا يحي بن سعيد عن حنظلة بن قيس الانصاري سمع رافع بن خديج قال كنا اكثر اهل
المدينة مزدرعا كنا نكري الارض بالناحية
منها مسمى لسيد الارض قال فمما يصاب ذالك وتسلم الارض ومما يصاب الارض ويسلم ذلك فنهينا واما الذهب
والورق فلم يكن يومئذ
“Muhammad
bin Muqatil telah menceritakan kepada kami (dia mengatakan), ‘Abdullah telah
memberitakan kepada kami (dia mengatakan) Yahya bin Sa’id telah memberitakan
kepada kami dari Hanzalah bin Qais al-Ansari dia mendengar Rafi’ bin Khadij
berkata: Di Madinah kami termasuk orang yang paling banyak bercocok tanam,
sering kami menyewa tanah di sebuah kawasan tertentu milik tuan tanah,
diantaranya ada yang berhasil, dan kadang tanah menjadi rusak, dan kadang juga berhasil,
lalu kami dilarang melakukan (penyewaan) tanah, karena ketika itu, masyarakat
belum terbiasa menyewakan tanah dengan emas dan wariq” (H.R. al-Bukhari).
Hadis tersebut menegaskan bahwa uang emas dan
wariq belum dipakai sebagai pembayaran sewa tanah karena masyarakat saat itu
belum terbiasa melakukan sewa menyewa tanah dengan menggunakan jenis mata uang
(emas dan wariq). Dijelaskan pula dalam riwayat lain yakni sahih muslim
2887 (I:705), Rafi’ bin Khadij menceritakan bahwa jenis emas dan wariq (dinar
dan dirham cetakan) sebagai uang yang digunakan untuk membayar sewa tanah. Dan
Rasulullah melarang menyewa tanah dengan imbalan dari hasil pertaniannya.
Wariq berasal dari
kata waraqa-yariqu-warqan. Secara etimologi wariq
mengandung arti lembaran. Menurut ulama hadis wariq adalah dinar
dan dirham madrubah (cetakan).
3.
Fiddah (Perak)
Kata fiddah juga disebut dalam beberapa
kitab hadis seperti Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Musnad
Ahmad bin Hanbal, Muwatta’ Imam Malik dan Sunan ad-Darimi.
Kata fiddah dimaknai sebagai uang. Berikut hadis yang terdapat dalam
Kitab Sunan an-Nasa’i 3840 (1930, VII/IV: 43-44).
اخبرنا عمروبن علي قال حدثنا يحي قال
حدثنا مالك ربيعة عن حنظلة بن قيس قال سألت رافع بن خديج عن كراء الأرض فقال نهى
رسولالله صلى الله عليه وسلم عن كراء الأرض قلت باالذهب والورق قال لا انما نهى
عنها بما يخرج منها فأما الذهب والفضة فلا بأس رواه سفيان الثوري رضي الله
عنه عن ربيعة ولم يرفعه
“Amr bin
Ali telah mengabarkan kepada kami (dia mengatakan), Yahya telah menceritakan
kepada kami (dia mengatakan), Malik telah menceritakan kepada kami dari Rabi’ah
dari Hanzalah bin Qais, dia berkata: Saya bertanya kepada Rafi’ bin Khadij
menyenai penyewaan tanah. Maka dia berkata: Rasulullah saw melarang penyewaan
tanah, saya bertanya: Dengan Imbalan emas dan perak? Dia berkata: Sesungguhnya
beliau melarangnya dengan imbalan apa yang keluar dari tanah itu. Adapun dengan
emas dan perak maka tidak mengapa. Sufyan as-Sauri r.a meriwayatkannya dari
Rabi’ah dan dia tidak merafa’kannya” (H.R. an-Nasa’i).
Hadis tersebut menyatakan bahwa emas dan perak
sebagai jenis atau sifat uang digunakan sebagai alat bayar dalam akad sewa
menyewa tanah, pada kasus lain nabi saw melarang membayar sewa menyewa dengan
imbalan hasil pertanian dari sawah yang disewa.[3]
4.
Nuqud (Uang Emas
dan Perak Cetakan) dan Sikkah (Uang Emas dan Perak Cetakan)
Nuqud menurut Ahmad
bin Hanbal memiliki makna sama dengan sikkah yaitu sebagai uang dari
jenis emas dan perak berbentuk cetakan (mata uang). Kata nuqud terdapat
pada kitab-kitab hadis, salah satunya adalah Musnad Ahmad bin Hanbal
nomor 22294 (1993, V: 466).
Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami (dia
mengatakan), Syu’bah telah bercerita kepada kami dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair
dari Rib’i bin Hirasy dari Huzaifah bin al-Yaman dari Nabi saw bahwa seseorang
masuk surga, ia ditanya: apa yang dulu pernah kau lakukan? Ia menjawab: mungkin
ia menyebutkan atau disebutkan: aku melakukan jual beli dengan orang-orang, aku
memberi kelonggaran dalam (pembayaran hutang) kepada orang yang kesulitan dan
aku membebaskan keuangan atau dalam pembayaran. Lalu, ia diampuni. Berkata Abu
Mas’ud: aku mendengarnya dari Rasulullah saw” (H.R. Ahmad).
Hadis tersebut menyatakan bahwa jenis uang (nuqud
dan sikkah) digunakan sebagai modal usaha, dimana seseorang yang
merelakan atau mempermudah urusan keuangan (modal) terhadap partner bisnisnya
ketika mengalami kesulitan, maka ia dijamin masuk surga.
5.
Fulus (Uang Emas
Bercampur Tembaga)
Kata fulus sebagai uang hanya dapat
dijumpai dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal nomor 20548 (1993, V: 187)
sebagai berikut:
حدثنا يزيد
اخبرنا همام عن قتارة عن سعيد بن أبي الحسن عن عبد الله بن صامت قال كنت مع أبي ذر
وقد خرج عطاؤه ومه جارية له فجعلت تقضي حوائجه وقال مرة نقضي قال ففضل معه فضل قال
أحسبه قال سبع قال فأمرها أن تشتري بها فلوسا قلت يا أبا ذر لو ادخرته
للحاجة تنوبك وللضيف يأتبك فقال إن خليلي عهد إلي أن أيما ذهب أو فضة أوكي عليه
فهو جمر على صاحبه يوم القيامة حتى يفرغه إفراغا في سبيل الله
“Yazid
telah menceritakan kepada kami (dia mengatakan) Hammam telah memberikan kepada
kami dari Qatabah dari Said bin Abu Hasan dari Abdullah bin as-Samit ia
berkata: aku bersama Abu Zar dan ia telah menyerahkan bagiannya, ia bersama
budak perempuannya yang selalu mengurus keperluannya. Dia berkata lagi: kamu
memenuhi keperluan. Abdullah bin as-Samit berkata: Lalu Abu Zar masih memiliki
beberapa kelebihan (sisa) uang. Dia berkata: aku menghitungnya. Dia berkata:
ada tujuh (keping emas), kemudian ia memerintahkan budak wanita tersebut untuk
menukarkan sesuatu itu (uang emas) dengan (fulus). Aku bertanya, wahai Abu Zar,
sekiranya engkau simpan saja uang itu, sehingga engkau bisa gunakan untuk
keperluanmu dan juga untuk tamu yang berkunjung ke rumahmu. Abu Zar menjawab,
sungguh, kekasihku Muhammad telah berwasiat kepadaku, siapa saja yang menimbun
emas dan perak (harta) maka itu adalah bara api (petaka) bagi pemiliknya di
hari kiamat hingga ia belanjakan seluruhnya di jalan Allah” (H.R. Ahmad).
Menurut hadis di atas, kata fulus
dimaknai sebagai alat penukar terhadap emas dan perak. Sedang menurut ulama
hadis, fulus diartikan sebagai mata uang selain emas dan perak atau uang
dari jenis emas dicampur dengan bahan dari tembaga yang beredar dan dipakai
sebagai modal dalam berdagang[4].
B.
FUNGSI UANG
DALAM HADIS
1.
Uang Sebagai
Harta Bernilai (Mal)
حدثنا إسحاق بن نصر حدثنا عبد الرزاق
عن معمر عن همام سمع أباهريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لو كان عندي أحد
ذهبا لأ يأتي علي ثلاث وعندي منه دينار ليس شيء أرصده في دين علي أجد من يقبله
“Telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Nashr telah menceritakan kepada kami
Abdurrazaq dari Ma’mar dari Hammam ia mendengar Abu Hurairah dari Nabi saw,
beliau bersabda: “Sekiranya aku mempunyai emas sebesar gunung Uhud, sungguh aku
pun tetap berkeinginan untuk tidak mempunyai dinar padahal aku masih mempunyai
satu dinar, itupun tak ada alasan bagiku untuk mencarinya selain karena ada hutang
yang harus ku bayar, yang kuharap ada orang menerima pembayaran hutangku.” (H.R.
Bukhari).
Hadis tersebut menyatakan bahwa dinar (uang
emas) sebagai harta kekayaan sangat berharga seraya memberikan ibrah (pelajaran)
bahwa orang kaya tidak boleh berharap pemberian dari orang lain. Sebaliknya,
orang miskin yang mempunyai utang, ia tetap harus ada niat membayarnya. Dengan
kemiskinannya, tetap saja tidak boleh berharap bahwa pembayaran utangnya akan
ditolak.[5]
2.
Uang Sebagai
Alat Tukar
حدثنا يحي بن سليمان حدثنا بن وهب اخبرنا بن خريج عن عطاء وابي الزبير
عن جابر رضي الله عنه قال : نهي النبي صلى الله عليه وسلم عن بيع الثمر حتى يطيب
ولا يباع شيء منه الا باالدينار والدرهام الا العرايا
“Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahab telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dari 'Atho' dan Abu Az Zubair
dari Jabir radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
melarang menjual buah (dari pohon) kecuali telah nampak baiknya dan tidak boleh
dijual sesuatupun darinya kecuali dengan dinar dan dirham kecuali
'arayya". (H.R. al-Bukhari).
Dari hadis di atas, bisa kita lihat
bahwasannya kedudukan dinar dan dirham sebagai alat tukar atau transaksi jual
beli.
3.
Uang Sebagai
Modal Kerja
قال مالك لا يصلح القراض إلا في
العين من الذهب أوالورق ولا يكون في شيء من العروض والسلع ومن البيوع ما يجوز إذا
تفاوت أمره وتفاحش رده فأما الربا فإنه لا يكون فيه إلا الرد أبدا ولا كثير ولا
يجوز فيه ما يجوز في غيره لأن الله تبارك وتعالى قال في كتابه وإن تبتم فلكم رءوس
أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون
“Malik berpendapat:
(pinjaman) qirad hanya baik dalam bentuk mata uang emas dan perak, sedangkan
barang-barang jenis lain tidak diperbolehankan, dan termasuk
transaksi-transaksi tersebut tidak boleh jika sudah tenggang waktu (sudah lama)
dan barangnya terlarang, maka hal itu, dikembalikan (ditolak). Adapun riba,
tidak ada hukum apa pun kecuali ditolak selamanya baik sedikit atau banyak. Apa
yang tidak diperbolehkan dalam suatu transaksi (riba), sesuatu itu bisa
(diperbolehkan) pada bentuk transaksi lain, karena Allah berfirman dalam
kitab-Nya, jika engkau menyesal, maka engkau memperoleh modalmu kembali, tidak
menganiaya dan juga tidak pula dianiaya.” (H.R. Malik).
Menurut Imam Malik bahwa modal dalam akad qirad
harus berupa ‘ain. Yang dimaksud ‘ain yaitu uang logam (emas dan
perak) karena saat itu belum ada uang kertas dan dilarang berupa barang
dagangan, dan penyerahan modal harus secara tunai dari investor kepada pemilik
modal, yakni tidak bisa secara angsur (cicilan). Dengan uang (emas dan perak)
tersebut modal bisa di-tasharruf-kan dengan leluasa sehingga bisa
memperoleh keuntungan yang kemudian dibagi sesuai kesepakatan. Transaksi ini
dikenal dengan akad mudarabah al-mutlaqah oleh Lembaga Keuangan Syariah
(LKS).[6]
4.
Uang sebagai
Standar Nilai
حدثنا علي بن حجر حدثنا سفيان بن
عيينة عن الزهري أخبرته عمرة عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقطع في
ربع دينار فصاعدا قال أبو عيسى حديث حسن صحيح وقد روي هذا الحديث من غير وجه عن
عمرة عن عائشة مرفوعا ورواه بعضهم عن عمرة عن عائشة موقوفا
“Ali bin
Hujr telah menceritakan kepada kami (dia mengatakan), Sufyan bin Uyainah telah
menceritakan kepada kami dari az-Zuhri, (dia mengatakan) “Amrah telah
memberitakan kepadanya dari A’isyah adalah beliau memotong tangan pencuri pada
(pencurian) seperempat dinar atau lebih. Abi isa berkata: hadis Aisyah adalah
hadis hasan shahih dan hadis ini telah diriwayatkan dari jalur lain dari ‘Amrah
dari Aisyah secara marfu’. Namun, sebagian mereka ada yang meriwayatkan dari
‘Amrah dari Aisyah secara mauquf ” (H.R. at-Tirmizi).
Penjelasan dinar (uang emas) dalam hadis di
atas sebagai standar nilai atas hukuman bagi pencuri yang dikenakan had
potong tangan yakni ketika mengambil harta curian senilai lebih dari ¼ dinar
(uang emas) atau setara 1,06 gram emas.[7]
C.
JUAL BELI MATA
UANG
Melihat beragam kegiatan yang telah
berlangsung dalam kehidupan yakni dalam rangka pemenuhuan kebutuhan, seringkali
diperlukan transakisi jual beli. Dewasa ini, transaksi jual beli bukan hanya
dalam satu negara bahkan melambung jauh pada perdagangan internasional. Dalam
perdagangan interational tentu tidak lepas dari persoalan yang harus dihadapi,
diantaranya mata uang yang berbeda mengharuskan pengukuran nilai mata uang agar
menjadi setara. Inilah yang disebut dengan penetapan kurs. Kurs adalah
perbandingan nilai uangnya dengan mata uang asing, misalnya 1 dolar Amerika =
Rp 12.000. Kurs atau perbandingan nilai
tukar bersifat fluktuasi (berubah-ubah), tergantung pada kekuatan
ekonomi negara masing-masing.[8]
Dengan demikian, ‘urf tijari (tradisi perdagangan) yang berkembang pada
wilayah internasional diperlukan jual beli mata uang atau disebut “al-Sharf”. Al-Sharf adalah
sebuah nama untuk penjualan nilai harga al-muthlakah (semua jenis nilai
harga) satu dengan yang lainnya.[9]
Al-Sharf juga disebut sebagai penukaran uang baik dengan jenis yang sama
maupun saling berbeda.[10]
Kegiatan transaksi al-Sharf harus
dilakukan sesuai ajaran Islam. Mengingat pentingnya tuntunan syariah, maka
Dewan Syari’ah Nasional juga menetapkan fatwa mengenai al-Sharf untuk
dijadikan pedoman yaitu fatwa Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002.
Dalam peredaran di pasar, mata uang kertas telah mengambil fungsi emas dan perak, sehingga ia menjadi satu-satunya satuan
hitungan dan sarana perantara dalam tukar menukar. Dengan demikian, mata uang kertas menjadi nilai harga sebagaimana halnya
emas dan perak. Oleh sebab itu, hukum tukar menukar mata uang kertas pun tunduk
kepada peraturan al-Sharf (penukaran uang), sebagaimana halnya emas dan
perak. Adapun hadis yang membahas jual beli mata uang adalah sebagai berikut:
1.
Shahih al-Bukhari
2030 (II:22)
حدثنا عبيد
الله بن سعد حدثنا عمي حدثنا ابن أخي الزهري عن عمه قال حدثني سالم بن عبد الله عن
عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن أبا سعيد الخدري حدثه مثل ذلك حديثا عن
رسولالله صلى الله عليه وسلم فلقيه عبد الله بن عمر فقال يا أبا سعيد ما هذا الذي
تحدث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أبو سعيد قي الصرف سمعت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول الذهب باالذهب مثلا بمثل والورق مثلا بمثل
“Telah
menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Sa'ad telah menceritakan kepada kami
pamanku telah menceritakan kepada saya anak saudaraku Az Zuhriy dari pamannya
berkata, telah menceritakan kepada saya Salim bin 'Abdullah dari 'Abdullah bin
'Umar radliallahu 'anhuma bahwa Abu Sa'id Al Khudriy menceritakan kepadanya
seperti hadits tersebut dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka
'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma menemuinya lalu berkata: "Wahai
Abu Sa'id, apa yang telah anda ceritakan dari hadits dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam?. Maka Abu Sa'id berkata: "Tentang sharf
(dagangan), aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Jual beli emas dengan emas harus sama jumlahnya dan uang kertas dengan
uang kertas harus sama pula jumlahnya". (H.R. al-Bukhari).
2.
Hadis Nabi
riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam:
نهى رسول الله صلى عليه و سلم عن بيع
الورق بالذ هب د ينا
“Rasulullah
saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).” (H.R.
Muslim).
3.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبِيعُوا الدِّينَارَ بِالدِّينَارَيْنِ
وَلَا الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ
“Dari Utsman
bin Affan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu tukar satu dinar
dengan dua dinar, ataupun satu dirham dengan dua dirham.” (HR. Muslim)
Menjual emas dengan uang yang dilakukan secara kredit adalah sesuatu
yang dilarang oleh Rasulullah saw kepada kita. Apabila harga (uang pembayaran)
itu ditangguhkan, baik sebagian atau seluruhnya, maka jual beli tidak sah dan
batal.[11]
Dapat
disimpulkan bahwa transaski jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan
ketentuan sebagai berikut:
a.
Tidak untuk
spekulasi.
b.
Ada kebutuhan
transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
c.
Apabila
transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan
secara tunai (at-taqabudh).
d.
Apabila
berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.[12]
IV.
KESIMPULAN
Setelah penulis
meninjau hadis-hadis yang berkaitan dengan uang atau mata uang. Maka dapat kita
urai jenis uang yang terdapat dalam hadis diantaranya adalah dinar,
dirham, sikkah, fiddah, wariq, nuqud, dan fulus.
Selain jenis uang, secara eksplisit dalam beberapa hadis juga kita bisa melihat
perihal fungsi uang, yaitu uang sebagai mal, uang sebagai alat tukar,
sebagai modal kerja, dan juga berfungsi sebagai standar nilai dari benda.
Dalam ‘urf
tijari (tradisi perdagangan) yang berkembang pada wilayah internasional diperlukan
jual beli mata uang atau disebut “al-Sharf”. Dewan Syari’ah Nasional
juga menetapkan fatwa mengenai al-Sharf untuk dijadikan pedoman yaitu
fatwa Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang bisa kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan yang
terdapat pada makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran akan sangat
membantu kami sebagai pertimbangan dan perbaikan dalam penulisan makalah kami
selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wallahu ‘alam bis shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kasani.
Badai’ Al-Shanai’ Fi Tartib Al-Syara’i. Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub
al-Ilmiyah, n.d.
Bin
Fathi bin Abd Al-Muqtadir, Ibrahim. Uang Haram. Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2006.
Dewan
Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI, Jilid I. Ciputat: Gaung Persada, 2006.
Hasan,
Ahmad. Mata Uang Islami , Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami.
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004.
Jama’ah,
Ali. Al-Makayil Wa Al-Mawazin as-Syar’iyyah. Kairo: Dar ar-Risalah,
2002.
M.
Syafi’i, Antonio. Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Mujibatun,
Siti. Konsep Uang Dalam Hadis. Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama
(eLSA), 2012.
Syarbaini.
Mughni Muhtaj Bi Syarah Al-Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr, n.d.
Tupanno.
Ekonomi Dan Koperasi. Jakarta: Depdikbud, 1982.
![]() |
|||
![]() |
[1] Ahmad Hasan, Mata
Uang Islami , Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2004)., hlm. 63
[3] Siti
Mujibatun, Konsep Uang Dalam Hadis (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama
(eLSA), 2012)., hlm. 124
[6] Antonio M.
Syafi’i, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001)., hlm. 19
[9] Al-Kasani, Badai’
Al-Shanai’ Fi Tartib Al-Syara’i (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Ilmiyah,
n.d.)., hlm. 215
[11] Ibrahim bin
Fathi bin Abd Al-Muqtadir, Uang Haram (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2006)., hlm. 54-55
[12] Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI,
Jilid I (Ciputat: Gaung Persada, 2006)., hlm. 168-169
Tidak ada komentar:
Posting Komentar