Rabu, 17 Juni 2015

JENIS, FUNGSI, DAN JUAL BELI UANG
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Hadis Ahkam Ekonomi
Dosen Pengampu: Supangat, M.Ag






Disusun Oleh:
Faishal Arief               (132311124)
Inayah Sholihah          (132311132)
Atika Zulfa                 (132311134)


PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

2015


I.                   PENDAHULUAN
Kiranya semua pembaca setuju bahwasannya uang telah dikenal sejak berabad-abad lalu. Uang merupakan pengakuan manusia berdasarkan proses budaya yang berakulturasi secara tunggal. Maksudnya adalah terciptanya uang disebabkan oleh proses plagiarisme dari satu suku bangsa ke suku bangsa lain. Uang juga menjadi media interaksi ekonomi antar individu bahkan antar suku bangsa.
Menurut analisis Davies Glyn (2008: 128-139), fakta sejarah mengatakan, sejak awal manusia mengenal uang, telah terjadi evolusi dalam penggunaan benda sebagai alat tukar. Coba kita uraikan mulai dari benda dengan benda lain yang saling dipertukarkan (barter) sampai pada benda yang disebut uang baik berupa emas dan juga kertas. Begitu dinamisnya perubahan uang dilihat dari konsep, fungsi serta bentuknya, tentu hal itu menyisakan persoalan dikalangan umat Islam. Sehingga, alangkah baiknya apabila kita memberikan sentuhan perhatian lebih untuk mengkaji ulang konsep uang, khususnya yang merujuk spesifikasi pada sumber teks hadis.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa saja jenis uang yang terdapat dalam hadis?
B.     Apa fungsi uang dalam hadis?
C.     Bagaimana jual beli uang dalam kajian Hadis?

III.             PEMBAHASAN
A.    JENIS UANG DALAM  HADIS
Pada hakikatnya uang selalu berubah-ubah dari jenis dan bentuknya. Jenis uang dapat diklasifikasikan dari segi hakikat dan jenisnya tanpa memandang hubungannya dengan bangsa tertentu. Maka jenis uang tersebut dibedakan ke dalam uang komoditas, uang logam, uang kertas, dan uang bank.[1]
Ada beberapa jenis uang yang juga disebutkan dalam hadis Nabi yang langsung menunjuk kepada nama uang itu sendiri. Diantaranya yaitu:
1.      Dirham (Uang Perak) dan Dinar (Uang Emas)
حدثنا يحي بن سليمان حدثنا بن وهب اخبرنا بن خريج عن عطاء وابي الزبير عن جابر رضي الله عنه قال : نهي النبي صلى الله عليه وسلم عن بيع الثمر حتى يطيب ولا يباع شيء منه الا باالدينار والدرهام الا العرايا
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dari 'Atho' dan Abu Az Zubair dari Jabir radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang menjual buah (dari pohon) kecuali telah nampak baiknya dan tidak boleh dijual sesuatupun darinya kecuali dengan dinar dan dirham kecuali 'arayya". (H.R. al-Bukhari).
Hadis di atas menyatakan bahwa dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) digunakan sebagai alat bayar dalam transaksi terhadap barang (buah-buahan). Pada sisi lain hadis tersebut juga melarang menjual buah yang belum masak, kecuali dalam keadaan darurat seseorang diperbolehkan menjual kurma yang masih di tangkainya dengan pembayaran yang bukan dengan dinar atau dirham melainkan dengan kurma yang sudah masak dan sudah dipetik dari tangkainya. Transaksi ini disebut dengan ‘arayya.[2]
2.      Zahab (Emas) dan Wariq (Uang Perak)
حدثنا محمد بن مقاتل اخبرنا عبدالله اخبرنا يحي بن سعيد عن حنظلة بن قيس الانصاري سمع رافع بن خديج قال كنا اكثر اهل المدينة مزدرعا كنا نكري الارض  بالناحية منها مسمى لسيد الارض قال فمما يصاب ذالك وتسلم الارض  ومما يصاب الارض ويسلم ذلك فنهينا واما الذهب والورق فلم يكن يومئذ
Muhammad bin Muqatil telah menceritakan kepada kami (dia mengatakan), ‘Abdullah telah memberitakan kepada kami (dia mengatakan) Yahya bin Sa’id telah memberitakan kepada kami dari Hanzalah bin Qais al-Ansari dia mendengar Rafi’ bin Khadij berkata: Di Madinah kami termasuk orang yang paling banyak bercocok tanam, sering kami menyewa tanah di sebuah kawasan tertentu milik tuan tanah, diantaranya ada yang berhasil, dan kadang tanah menjadi rusak, dan kadang juga berhasil, lalu kami dilarang melakukan (penyewaan) tanah, karena ketika itu, masyarakat belum terbiasa menyewakan tanah dengan emas dan wariq” (H.R. al-Bukhari).
Hadis tersebut menegaskan bahwa uang emas dan wariq belum dipakai sebagai pembayaran sewa tanah karena masyarakat saat itu belum terbiasa melakukan sewa menyewa tanah dengan menggunakan jenis mata uang (emas dan wariq). Dijelaskan pula dalam riwayat lain yakni sahih muslim 2887 (I:705), Rafi’ bin Khadij menceritakan bahwa jenis emas dan wariq (dinar dan dirham cetakan) sebagai uang yang digunakan untuk membayar sewa tanah. Dan Rasulullah melarang menyewa tanah dengan imbalan dari hasil pertaniannya.
Wariq berasal dari kata waraqa-yariqu-warqan. Secara etimologi wariq mengandung arti lembaran. Menurut ulama hadis wariq adalah dinar dan dirham madrubah (cetakan).
3.      Fiddah (Perak)
Kata fiddah juga disebut dalam beberapa kitab hadis seperti Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muwatta’ Imam Malik dan Sunan ad-Darimi. Kata fiddah dimaknai sebagai uang. Berikut hadis yang terdapat dalam Kitab Sunan an-Nasa’i 3840 (1930, VII/IV: 43-44).
اخبرنا عمروبن علي قال حدثنا يحي قال حدثنا مالك ربيعة عن حنظلة بن قيس قال سألت رافع بن خديج عن كراء الأرض فقال نهى رسولالله صلى الله عليه وسلم عن كراء الأرض قلت باالذهب والورق قال لا انما نهى عنها بما يخرج منها فأما الذهب والفضة فلا بأس رواه سفيان الثوري رضي الله عنه عن ربيعة ولم يرفعه
Amr bin Ali telah mengabarkan kepada kami (dia mengatakan), Yahya telah menceritakan kepada kami (dia mengatakan), Malik telah menceritakan kepada kami dari Rabi’ah dari Hanzalah bin Qais, dia berkata: Saya bertanya kepada Rafi’ bin Khadij menyenai penyewaan tanah. Maka dia berkata: Rasulullah saw melarang penyewaan tanah, saya bertanya: Dengan Imbalan emas dan perak? Dia berkata: Sesungguhnya beliau melarangnya dengan imbalan apa yang keluar dari tanah itu. Adapun dengan emas dan perak maka tidak mengapa. Sufyan as-Sauri r.a meriwayatkannya dari Rabi’ah dan dia tidak merafa’kannya” (H.R. an-Nasa’i).
Hadis tersebut menyatakan bahwa emas dan perak sebagai jenis atau sifat uang digunakan sebagai alat bayar dalam akad sewa menyewa tanah, pada kasus lain nabi saw melarang membayar sewa menyewa dengan imbalan hasil pertanian dari sawah yang disewa.[3]
4.      Nuqud (Uang Emas dan Perak Cetakan) dan Sikkah (Uang Emas dan Perak Cetakan)
Nuqud menurut Ahmad bin Hanbal memiliki makna sama dengan sikkah yaitu sebagai uang dari jenis emas dan perak berbentuk cetakan (mata uang). Kata nuqud terdapat pada kitab-kitab hadis, salah satunya adalah Musnad Ahmad bin Hanbal nomor 22294 (1993, V: 466).
Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami (dia mengatakan), Syu’bah telah bercerita kepada kami dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair dari Rib’i bin Hirasy dari Huzaifah bin al-Yaman dari Nabi saw bahwa seseorang masuk surga, ia ditanya: apa yang dulu pernah kau lakukan? Ia menjawab: mungkin ia menyebutkan atau disebutkan: aku melakukan jual beli dengan orang-orang, aku memberi kelonggaran dalam (pembayaran hutang) kepada orang yang kesulitan dan aku membebaskan keuangan atau dalam pembayaran. Lalu, ia diampuni. Berkata Abu Mas’ud: aku mendengarnya dari Rasulullah saw” (H.R. Ahmad).
Hadis tersebut menyatakan bahwa jenis uang (nuqud dan sikkah) digunakan sebagai modal usaha, dimana seseorang yang merelakan atau mempermudah urusan keuangan (modal) terhadap partner bisnisnya ketika mengalami kesulitan, maka ia dijamin masuk surga.
5.      Fulus (Uang Emas Bercampur Tembaga)
Kata fulus sebagai uang hanya dapat dijumpai dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal nomor 20548 (1993, V: 187) sebagai berikut:
حدثنا يزيد اخبرنا همام عن قتارة عن سعيد بن أبي الحسن عن عبد الله بن صامت قال كنت مع أبي ذر وقد خرج عطاؤه ومه جارية له فجعلت تقضي حوائجه وقال مرة نقضي قال ففضل معه فضل قال أحسبه قال سبع قال فأمرها أن تشتري بها فلوسا قلت يا أبا ذر لو ادخرته للحاجة تنوبك وللضيف يأتبك فقال إن خليلي عهد إلي أن أيما ذهب أو فضة أوكي عليه فهو جمر على صاحبه يوم القيامة حتى يفرغه إفراغا في سبيل الله
Yazid telah menceritakan kepada kami (dia mengatakan) Hammam telah memberikan kepada kami dari Qatabah dari Said bin Abu Hasan dari Abdullah bin as-Samit ia berkata: aku bersama Abu Zar dan ia telah menyerahkan bagiannya, ia bersama budak perempuannya yang selalu mengurus keperluannya. Dia berkata lagi: kamu memenuhi keperluan. Abdullah bin as-Samit berkata: Lalu Abu Zar masih memiliki beberapa kelebihan (sisa) uang. Dia berkata: aku menghitungnya. Dia berkata: ada tujuh (keping emas), kemudian ia memerintahkan budak wanita tersebut untuk menukarkan sesuatu itu (uang emas) dengan (fulus). Aku bertanya, wahai Abu Zar, sekiranya engkau simpan saja uang itu, sehingga engkau bisa gunakan untuk keperluanmu dan juga untuk tamu yang berkunjung ke rumahmu. Abu Zar menjawab, sungguh, kekasihku Muhammad telah berwasiat kepadaku, siapa saja yang menimbun emas dan perak (harta) maka itu adalah bara api (petaka) bagi pemiliknya di hari kiamat hingga ia belanjakan seluruhnya di jalan Allah” (H.R. Ahmad).
        Menurut hadis di atas, kata fulus dimaknai sebagai alat penukar terhadap emas dan perak. Sedang menurut ulama hadis, fulus diartikan sebagai mata uang selain emas dan perak atau uang dari jenis emas dicampur dengan bahan dari tembaga yang beredar dan dipakai sebagai modal dalam berdagang[4].

B.     FUNGSI UANG DALAM HADIS
1.      Uang Sebagai Harta Bernilai (Mal)
حدثنا إسحاق بن نصر حدثنا عبد الرزاق عن معمر عن همام سمع أباهريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لو كان عندي أحد ذهبا لأ يأتي علي ثلاث وعندي منه دينار ليس شيء أرصده في دين علي أجد من يقبله
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Nashr telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dari Ma’mar dari Hammam ia mendengar Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sekiranya aku mempunyai emas sebesar gunung Uhud, sungguh aku pun tetap berkeinginan untuk tidak mempunyai dinar padahal aku masih mempunyai satu dinar, itupun tak ada alasan bagiku untuk mencarinya selain karena ada hutang yang harus ku bayar, yang kuharap ada orang menerima pembayaran hutangku.” (H.R. Bukhari).
Hadis tersebut menyatakan bahwa dinar (uang emas) sebagai harta kekayaan sangat berharga seraya memberikan ibrah (pelajaran) bahwa orang kaya tidak boleh berharap pemberian dari orang lain. Sebaliknya, orang miskin yang mempunyai utang, ia tetap harus ada niat membayarnya. Dengan kemiskinannya, tetap saja tidak boleh berharap bahwa pembayaran utangnya akan ditolak.[5]
2.      Uang Sebagai Alat Tukar
حدثنا يحي بن سليمان حدثنا بن وهب اخبرنا بن خريج عن عطاء وابي الزبير عن جابر رضي الله عنه قال : نهي النبي صلى الله عليه وسلم عن بيع الثمر حتى يطيب ولا يباع شيء منه الا باالدينار والدرهام الا العرايا
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dari 'Atho' dan Abu Az Zubair dari Jabir radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang menjual buah (dari pohon) kecuali telah nampak baiknya dan tidak boleh dijual sesuatupun darinya kecuali dengan dinar dan dirham kecuali 'arayya". (H.R. al-Bukhari).
Dari hadis di atas, bisa kita lihat bahwasannya kedudukan dinar dan dirham sebagai alat tukar atau transaksi jual beli.
3.      Uang Sebagai Modal Kerja
قال مالك لا يصلح القراض إلا في العين من الذهب أوالورق ولا يكون في شيء من العروض والسلع ومن البيوع ما يجوز إذا تفاوت أمره وتفاحش رده فأما الربا فإنه لا يكون فيه إلا الرد أبدا ولا كثير ولا يجوز فيه ما يجوز في غيره لأن الله تبارك وتعالى قال في كتابه وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون
Malik berpendapat: (pinjaman) qirad hanya baik dalam bentuk mata uang emas dan perak, sedangkan barang-barang jenis lain tidak diperbolehankan, dan termasuk transaksi-transaksi tersebut tidak boleh jika sudah tenggang waktu (sudah lama) dan barangnya terlarang, maka hal itu, dikembalikan (ditolak). Adapun riba, tidak ada hukum apa pun kecuali ditolak selamanya baik sedikit atau banyak. Apa yang tidak diperbolehkan dalam suatu transaksi (riba), sesuatu itu bisa (diperbolehkan) pada bentuk transaksi lain, karena Allah berfirman dalam kitab-Nya, jika engkau menyesal, maka engkau memperoleh modalmu kembali, tidak menganiaya dan juga tidak pula dianiaya.” (H.R. Malik).
Menurut Imam Malik bahwa modal dalam akad qirad harus berupa ‘ain. Yang dimaksud ‘ain yaitu uang logam (emas dan perak) karena saat itu belum ada uang kertas dan dilarang berupa barang dagangan, dan penyerahan modal harus secara tunai dari investor kepada pemilik modal, yakni tidak bisa secara angsur (cicilan). Dengan uang (emas dan perak) tersebut modal bisa di-tasharruf-kan dengan leluasa sehingga bisa memperoleh keuntungan yang kemudian dibagi sesuai kesepakatan. Transaksi ini dikenal dengan akad mudarabah al-mutlaqah oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS).[6]
4.      Uang sebagai Standar Nilai
حدثنا علي بن حجر حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري أخبرته عمرة عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقطع في ربع دينار فصاعدا قال أبو عيسى حديث حسن صحيح وقد روي هذا الحديث من غير وجه عن عمرة عن عائشة مرفوعا ورواه بعضهم عن عمرة عن عائشة موقوفا
Ali bin Hujr telah menceritakan kepada kami (dia mengatakan), Sufyan bin Uyainah telah menceritakan kepada kami dari az-Zuhri, (dia mengatakan) “Amrah telah memberitakan kepadanya dari A’isyah adalah beliau memotong tangan pencuri pada (pencurian) seperempat dinar atau lebih. Abi isa berkata: hadis Aisyah adalah hadis hasan shahih dan hadis ini telah diriwayatkan dari jalur lain dari ‘Amrah dari Aisyah secara marfu’. Namun, sebagian mereka ada yang meriwayatkan dari ‘Amrah dari Aisyah secara mauquf ” (H.R. at-Tirmizi).
Penjelasan dinar (uang emas) dalam hadis di atas sebagai standar nilai atas hukuman bagi pencuri yang dikenakan had potong tangan yakni ketika mengambil harta curian senilai lebih dari ¼ dinar (uang emas) atau setara 1,06 gram emas.[7]

C.    JUAL BELI MATA UANG
Melihat beragam kegiatan yang telah berlangsung dalam kehidupan yakni dalam rangka pemenuhuan kebutuhan, seringkali diperlukan transakisi jual beli. Dewasa ini, transaksi jual beli bukan hanya dalam satu negara bahkan melambung jauh pada perdagangan internasional. Dalam perdagangan interational tentu tidak lepas dari persoalan yang harus dihadapi, diantaranya mata uang yang berbeda mengharuskan pengukuran nilai mata uang agar menjadi setara. Inilah yang disebut dengan penetapan kurs. Kurs adalah perbandingan nilai uangnya dengan mata uang asing, misalnya 1 dolar Amerika = Rp 12.000. Kurs  atau perbandingan nilai tukar bersifat fluktuasi (berubah-ubah), tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing.[8] Dengan demikian, ‘urf tijari (tradisi perdagangan) yang berkembang pada wilayah internasional diperlukan jual beli mata uang atau disebut “al-Sharf”. Al-Sharf adalah sebuah nama untuk penjualan nilai harga al-muthlakah (semua jenis nilai harga) satu dengan yang lainnya.[9] Al-Sharf juga disebut sebagai penukaran uang baik dengan jenis yang sama maupun saling berbeda.[10]
Kegiatan transaksi al-Sharf harus dilakukan sesuai ajaran Islam. Mengingat pentingnya tuntunan syariah, maka Dewan Syari’ah Nasional juga menetapkan fatwa mengenai al-Sharf untuk dijadikan pedoman yaitu fatwa Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002.
Dalam peredaran di pasar, mata uang kertas telah mengambil fungsi emas dan perak, sehingga ia menjadi satu-satunya satuan hitungan dan sarana perantara dalam tukar menukar. Dengan demikian, mata uang kertas menjadi nilai harga sebagaimana halnya emas dan perak. Oleh sebab itu, hukum tukar menukar mata uang kertas pun tunduk kepada peraturan al-Sharf (penukaran uang), sebagaimana halnya emas dan perak. Adapun hadis yang membahas jual beli mata uang adalah sebagai berikut:
1.      Shahih al-Bukhari 2030 (II:22)
حدثنا عبيد الله بن سعد حدثنا عمي حدثنا ابن أخي الزهري عن عمه قال حدثني سالم بن عبد الله عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن أبا سعيد الخدري حدثه مثل ذلك حديثا عن رسولالله صلى الله عليه وسلم فلقيه عبد الله بن عمر فقال يا أبا سعيد ما هذا الذي تحدث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أبو سعيد قي الصرف سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول الذهب باالذهب مثلا بمثل والورق مثلا بمثل
Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Sa'ad telah menceritakan kepada kami pamanku telah menceritakan kepada saya anak saudaraku Az Zuhriy dari pamannya berkata, telah menceritakan kepada saya Salim bin 'Abdullah dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma bahwa Abu Sa'id Al Khudriy menceritakan kepadanya seperti hadits tersebut dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma menemuinya lalu berkata: "Wahai Abu Sa'id, apa yang telah anda ceritakan dari hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?. Maka Abu Sa'id berkata: "Tentang sharf (dagangan), aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jual beli emas dengan emas harus sama jumlahnya dan uang kertas dengan uang kertas harus sama pula jumlahnya". (H.R. al-Bukhari).
2.      Hadis Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam:
نهى رسول الله صلى عليه و سلم عن بيع الورق بالذ هب د ينا
Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai).” (H.R. Muslim).
3.      عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبِيعُوا الدِّينَارَ بِالدِّينَارَيْنِ وَلَا الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ
Dari Utsman bin Affan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu tukar satu dinar dengan dua dinar, ataupun satu dirham dengan dua dirham.” (HR. Muslim)

Menjual emas dengan uang yang dilakukan secara kredit adalah sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah saw kepada kita. Apabila harga (uang pembayaran) itu ditangguhkan, baik sebagian atau seluruhnya, maka jual beli tidak sah dan batal.[11] Dapat disimpulkan bahwa transaski jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Tidak untuk spekulasi.
b.      Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
c.       Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
d.      Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.[12]



IV.             KESIMPULAN
Setelah penulis meninjau hadis-hadis yang berkaitan dengan uang atau mata uang. Maka dapat kita urai jenis uang yang terdapat dalam hadis diantaranya adalah dinar, dirham, sikkah, fiddah, wariq, nuqud, dan fulus. Selain jenis uang, secara eksplisit dalam beberapa hadis juga kita bisa melihat perihal fungsi uang, yaitu uang sebagai mal, uang sebagai alat tukar, sebagai modal kerja, dan juga berfungsi sebagai standar nilai dari benda.
Dalam ‘urf tijari (tradisi perdagangan) yang berkembang pada wilayah internasional diperlukan jual beli mata uang atau disebut “al-Sharf”. Dewan Syari’ah Nasional juga menetapkan fatwa mengenai al-Sharf untuk dijadikan pedoman yaitu fatwa Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang bisa kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran akan sangat membantu kami sebagai pertimbangan dan perbaikan dalam penulisan makalah kami selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wallahu ‘alam bis shawwab.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Kasani. Badai’ Al-Shanai’ Fi Tartib Al-Syara’i. Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Ilmiyah, n.d.
Bin Fathi bin Abd Al-Muqtadir, Ibrahim. Uang Haram. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006.
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid I. Ciputat: Gaung Persada, 2006.
Hasan, Ahmad. Mata Uang Islami , Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004.
Jama’ah, Ali. Al-Makayil Wa Al-Mawazin as-Syar’iyyah. Kairo: Dar ar-Risalah, 2002.
M. Syafi’i, Antonio. Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Mujibatun, Siti. Konsep Uang Dalam Hadis. Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), 2012.
Syarbaini. Mughni Muhtaj Bi Syarah Al-Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr, n.d.
Tupanno. Ekonomi Dan Koperasi. Jakarta: Depdikbud, 1982.


 




[1] Ahmad Hasan, Mata Uang Islami , Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004)., hlm. 63
[2] Al-Bukhari, II:22
[3] Siti Mujibatun, Konsep Uang Dalam Hadis (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), 2012)., hlm. 124
[4] Ali Jama’ah, Al-Makayil Wa Al-Mawazin as-Syar’iyyah (Kairo: Dar ar-Risalah, 2002)., hlm. 20
[5] Mujibatun, Konsep Uang Dalam Hadis., hlm. 194
[6] Antonio M. Syafi’i, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)., hlm. 19
[7] Jama’ah, Al-Makayil Wa Al-Mawazin as-Syar’iyyah., hlm. 14
[8] Tupanno, Ekonomi Dan Koperasi (Jakarta: Depdikbud, 1982)., hlm. 76-77
[9] Al-Kasani, Badai’ Al-Shanai’ Fi Tartib Al-Syara’i (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Ilmiyah, n.d.)., hlm. 215
[10] Syarbaini, Mughni Muhtaj Bi Syarah Al-Minhaj (Beirut: Dar al-Fikr, n.d.)., hlm. 25
[11] Ibrahim bin Fathi bin Abd Al-Muqtadir, Uang Haram (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006)., hlm. 54-55
[12] Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid I (Ciputat: Gaung Persada, 2006)., hlm. 168-169

Tidak ada komentar:

Posting Komentar