Jumat, 26 Juni 2015

HUKUM DAN KEDUDUKAN SEWA BELI

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Mauamalah 2
Dosen Pengampu: Mahsun M.Ag






Disusun Oleh:
Inayah Sholihah          (132311132)
Fitri Yanti                   (132311156)


PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH  
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

2015




I.           PENDAHULUAN
Dewasa ini, kajian dan pembicaraan ekonomi Islam telah merebak ke seluruh atmosfir bumi tercinta ini. Didukung pula oleh kegairahan dan semangat beragama masyarakat yang mulai menonjol. Berdasarkan tuntutan zaman, maka banyak bermunculan ragam dan bentuk muamalah dengan berbagai cara dan coraknya. Diantaranya penulis sebutkan adalah sewa beli atau dikenal juga dengan istilah leasing. Sewa beli juga telah menarik perhatian para ekonom muslim untuk dikaji lebih mendalam, sehingga istilah leasing juga dikenalkan oleh lembaga keuangan syariah dengan istilah Ijaarah Muntahia Bi Al-Tamlik (IMBT).
Dalam kesempatan ini, penulis akan mengurai pembahasan mengenai sewa beli. Pembahasan sewa beli ini lebih menitik beratkan pada hukum dan kedudukan dari sewa beli. Penulis juga akan menambahkan rujukan dari fatwa Dewan Syariah Nasional perihal IMBT.

II.         RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik?
B.     Bagaimana hukum dan kedudukan Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik?

III.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik
Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik adalah praktek muamalah dengan bentuk sewa yang kemudian diakhiri dengan penyerahan status kepemilikan barang kepada penyewa. Transaksi ini merupakan perpaduan atas kontrak sewa dan jual beli.[1] Pengertian sewa beli berdasarkan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.[2]
Proses pelaksanaan sewa bermula pada akad sewa, kemudian apabila penyewa berkeinginan melanjutkan pada akad beli, maka demikian yang dinamakan sewa beli. Akan tetapi apabila penyewa memutuskan untuk berhenti pada tahap sewa saja, maka hal itu merupakan akad sewa saja bukan sewa beli. Adapun mengenai tempo masa ijarah dikembalikan pada kesepakatan kedua belah pihak.  Dan syarat dan rukun sewa (ijarah) sama halnya dengan syarat dan rukun sewa biasa atau sebagaimana yang telah ditentukan dalam fatwa DSN.
Selain istilah Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik (IMBT), sewa beli juga disebut al-Ijarah thumma al-bai’ (AITAB). AITAB lebih populer di negara Malaysia, sebagaimana diterapkan juga oleh Institusi perbankan Islam di Malaysia.[3] Lebih lanjut, Lembaga Majelis Penasihat Syariah (MPS) Malaysia membuat putusan sebagai berikut: “MPS pada mesyuarat pertama bertarikh 8 julai 1997 dan mesyuarat ke-36 bertarikh 26 Jun 2003 telah memutuskan bahawa penggunaan konsep AITAB adalah dibenarkan, ....”.[4]

B.     Hukum dan Kedudukan Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik
IMBT terikat oleh dua akad yakni sewa kemudian jual beli. Padahal dua akad tersebut memiliki karakter yang berbeda. Secara implisit nampaknya sulit dipersatukan. Akad sewa yakni pelimpahan manfaat atas suatu benda yang sifatnya sementara, sedang akad jual beli bertujuan untuk pengalihan kepemilikan yang sifatnya selamanya. Sebagai ekonom muslim, tentu timbul kekhawatiran akan praktek IMBT yang tidak sesuai syariat. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis:
نهى رسو ل الله عليه و سلم عن صفقتين في صفقة واحدة
Rasululllah saw melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu objek.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Mas’ud).
Dari hadis diatas, jelas bahwasannya dalam satu objek transaksi tidak bisa digabungkan dengan dua akad. Lalu bagaimana hukum dari sewa beli?. Sewa beli perlu ditinjau lebih mendalam. Apabila melihat hukum asal dari muamalah maka hukumnya mubah (boleh). Sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqh:
الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Selain kaidah fiqh di atas, juga terdapat dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi saw bersabda:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو احل حراما و المسلمين على شروطهم إلا شرط حرم حلالا أو أحل حراما
Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.”
Kendati hukumnya boleh, kita harus mempertimbangkan beberapa hal agar IMBT tidak terikat oleh dua akad sekaligus secara bersamaan. Menimbang sewa beli sebagai salah satu kebutuhan masyarakat, maka Dewan Syariah Nasional juga memandang perlu menetapkan fatwa tentang sewa beli yang sesuai dengan syari’ah. Diharapkan fatwa mengenai akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik tersebut bisa dijadikan pedoman agar dalam pelaksanaanya tidak melanggar tuntunan Islam. Fatwa DSN tentang IMBT dibagi dalam dua aspek, yakni ketentuan umum dan ketentuan tentang al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik.
1.      Ketentuan Umum
Akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik.
b.      Perjanjian untuk melakukan akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
c.       Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
2.      Ketentuan tentang al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik:
a.       Pihak yang melakukan al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
b.      Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa’d (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.[5]
Dari fatwa di atas maka akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus dilaksanakan secara bertahap, yakni ada pemisahan antara akad sewa dan jual beli. Akad Ijarah harus lebih dulu diselesaikan, kemudian pihak penyewa boleh melanjutkan dengan transaksi jual beli.
Selain fatwa dari DSN, para Ulama yang tergabung dalam Majlis Majma’ al-Fiqh al-Islami internasional yang merupakan bagian dari Munâzhamah al-Mu’tamar al-Islami (OKI) dalam daurahnya yang ke-12 di kota Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia menjelaskan kreteria IMBT yang tidak melanggar syariat. Mereka melakukan muktamar dengan melihat makalah-makalah yang disampaikan kepada al-Majma’ berkenaan dengan masalah sewa yang berakhir dengan pemilikan (al-ijâr al-muntahi bit tamlîk) . Juga setelah mendengar diskusi yang berkisar masalah ini dengan peran serta para anggota al-majma’ dan para pakarnya serta sejumlah ahli fikih, menetapkan kriterianya, yaitu:
Pertama: ketentuan bentuk-bentuk yang terlarang adalah adanya dua transaksi yang berbeda dalam satu waktu pada satu barang.
Kedua: Ketentuan bentuk-bentuk yang diperbolehkan:
a.       Adanya dua transaksi yang terpisah dari sisi waktu, masing-masing berdiri sendiri. Dalam bentuk ini, transaksi jual beli dipermanenkan setelah transaksi ijarah (sewa menyewa) atau adanya janji kepemilikan di akhir masa sewa dan hak khiyar (hak pilih) setara dengan janji tersebut dalam hukum.
b.      Sewa menyewa tersebut benar-benar ada (fi’liyyah/real) bukan sebagai kamuflase (sâtirah) jual beli.
1.      Jaminan (dhamân) barang yang disewakan adalah tanggung jawab pemilik, bukan pada penyewa. Dengan demikian penyewa tidak memikul beban semua yang menimpa barang yang bukan disebabkan oleh kesengajaan atau keteledoran penyewa. Penyewa tidak diwajibkan sama sekali apabila manfaat barang hilang.
2.      Apabila transaksi mengandung asuransi barang sewaan, maka asuransinya wajib berbentuk ta’âwuni syariat bukan konvensional dan yang bertanggung jawab untuk membayar adalah pemilik atau yang memberikan sewaan (al-mu`jir) bukan orang yang menyewanya (al-musta`jir).
3.      Diwajibkan penerapan hukum-hukum sewa menyewa selama masa penyewaan pada transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan dan penerapan hukum-hukum jual beli ketika pemilikan barang tersebut.
4.      Nafkah pemeliharaan yang tidak menyangkut operasional tanggung jawab pemberi sewaan (al-mu`jir) bukan kepada penyewa (al-musta`jir) selama masa penyewaan.[6]

IV.             KESIMPULAN
Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik adalah praktek muamalah dengan bentuk sewa yang kemudian diakhiri dengan penyerahan status kepemilikan barang kepada penyewa. Dasar hukum sewa beli terdapat pada Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi saw bersabda:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو احل حراما و المسلمين على شروطهم إلا شرط حرم حلالا أو أحل حراما
Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.”
Akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus dilaksanakan secara bertahap, yakni ada pemisahan antara akad sewa dan jual beli. Akad Ijarah harus lebih dulu diselesaikan, kemudian pihak penyewa boleh melanjutkan dengan transaksi jual beli.

V.         PENUTUP
Demikian makalah yang bisa kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran akan sangat membantu kami sebagai pertimbangan dan perbaikan dalam penulisan makalah kami selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wallahu ‘alam bis shawwab.





DAFTAR PUSTAKA

Bin Muahamma al-’Umrani, Abdullah. Kitab Al-‘Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah. Daar Kunuuz Isybiliya, 1428.
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid I. Ciputat: Gaung Persada, 2006.
Nurfarhana, and Abdul Ghaffar. Kadar Sewaan Dalam Instrumen Pembiyaan Bagi Kontrak Ijarah Di Perbankan Islam, Prosiding PERKEM VIII, Jilid I. ISSN: 2231-962X. Pusat Pengajian Ekonomi, Universitas Kebangsaan Malaysia, 2013.
Sutardi, Tatang. Ijarah: Aplikasi Pada Lembaga Keuangan Syariah. Tanah Grogot, n.d.




[1] Abdullah bin Muahamma al-’Umrani, Kitab Al-‘Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah (Daar Kunuuz Isybiliya, 1428)., hlm. 193-227
[2] Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid I (Ciputat: Gaung Persada, 2006)., hlm. 160
[3] Tatang Sutardi, Ijarah: Aplikasi Pada Lembaga Keuangan Syariah (Tanah Grogot, n.d.).
[4] Nurfarhana and Abdul Ghaffar, Kadar Sewaan Dalam Instrumen Pembiyaan Bagi Kontrak Ijarah Di Perbankan Islam, Prosiding PERKEM VIII, Jilid I, ISSN: 2231-962X (Pusat Pengajian Ekonomi, Universitas Kebangsaan Malaysia, 2013).
[5] Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid I., hlm. 163-164
[6] bin Muahamma al-’Umrani, Kitab Al-‘Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar