Perjalanan hidup yang gersang, seperti alam tanpa pepohonan.
Kering kerontang. Tidak ada kenyamanan, kesejukan, ketenangan, dan cinta.
Seperti itulah perumpamaan hidup tanpa agama.
Golongan atheisme tidak mengenal sebuah agama. Mereka berkata
tidak ada Tuhan, sebab Mereka belum mampu merasakan eksistensi Tuhan. Tuhan memang tidak bisa dijamah oleh panca
indra manusia, namun pada hakikatnya manusia bisa merasakan adanya Tuhan. Allah
SWT. berfirman:
Artinya: “dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku
adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah:186)
Kedamaian cinta
sulit merangkul hati seorang yang ingkar agama, Mereka selalu gagal menerima
cinta dan menghargai cinta dengan semestinya. Mereka hanya mengenal cinta dunia
sebagai budak nafsunya semata. Lain halnya dengan teori cinta yang berkolerasi
dengan agama, makna cinta akan berbuah kedamaian, menyejukan pikiran dan
memupuk perilaku menjadi serba ikhlas. Inilah kebutuhan rohani, dan agama
adalah suplemen-nya.
Ada sebuah
pernyataan yang mencengangkan dari tokoh sains terkenal, Einsten. Dia
menyatakan bahwa dirinya mempunyai agama sendiri yang belum pernah ada di
dunia! Astaghfirullah! Lalu agamanya apa? Siapa nabinya dan apa kitab
sucinya?. Siapa penganutnya?. Deretan pertanyaan tentu muncul dibenak hati.
Pernyataan demikian ditemukan karena Einstein mengarsipkan sebuah dokumen yang
ditulis tangannya sendiri juga artikel tentang dirinya. Dia kumpulkan sekitar
400 buah dokumen. Arsip itu tersimpan pada dua tempat utama, yaitu di Institute
For Advance Study di Princeton (Amerika) dan di Hebrew University di Juresalem
(Israel). Sebagian lagi tersimpan rapih di Boston University (Amerika).[1]
Untuk menemukan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas, kita perlu melakukan observasi
mendalam. Einstein dilahirkan dari keturunan Yahudi. Tapi ternyata Einstein
bukan beragama Yahudi dan dia tidak yakin kebenaran kitab Taurat, kitab Taurat
perlu dikoreksi, karena tidak sesuai dengan akal dan jalan pikirannya. Masa
kecil Einstein bersekolah di sekolah Katolik, sehingga diperkirakan Einstein beragama
Katolik. Namun faktanya juga bukan beragama Katolik. Lalu apa agama Einstein?.
Banyak tuduhan bahwa
Einstein adalah seorang ateis. Dia belum
menemukan agama yang benar-benar rasional dan sesuai jalan pikirannya.
Pencariaan Einstein mengenai eksistensi Tuhan tidak menemukan titik terang. Dan
Einstein menilai kitab Taurat maupun kitab Injil tidak sesuai dengan logikanya.
Apalagi mengenai antropomorfisme
(penyamaan Tuhan dengan mausia), Einstein sangat menolak keras. Suatu ketika
Einstein akan dikukuhkan sebagai orang Yahudi, tapi Enstein menolak. Kejadian
ini menguatkan tuduhan orang bahwa Einstein adalah ateis.[2]
Dapat disimpulkan
bahwa Einstein tidak mengaku sebagai ateis dan dia masih mencari Tuhan. Siapa
Tuhan yang patut dia disembah?. Berdasarkan analisanya, dia mengatakan bahwa
alam semesta yang mengagumkan ini pastilah ditata dengan hukum-hukum tertentu
yang belum dipahami semuanya oleh manusia. Bintang-bintang bergerak pasti ada
yang menggerakkannya. Einstein meyakini adanya Tuhan dalam kehidupan.
Demikian sebuah
fakta unik yang terjadi pada seorang pendekar ulung dalam fisika dan
matematika. Seorang pemikir yang jenius ternyata juga haus akan spiritualitas.
Dia menemui kehidupan yang tandus dan hati yang hampa. Sebab ada hal yang
tersembunyi yang belum mampu dijangkau oleh otak jeniusnya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa manusia mendambakan sebuah kedamaian. Semua dapat dicapai bila
kebutuhan manusia terpenuhi dengan selaras. Selaras tidak bisa dimaknai hanya
dengan pemenuhan intelektual maupun material saja, seperti pada kasus Einstein.
Manusia tidak akan sanggup terus-menerus menanggung kegersangan hidup. Manusia butuh cinta. Cinta yang menenangkan hati. Dan
cinta yang sempurna ada dalam naungan agama. Itulah sebabnya manusia butuh
agama.
[1] Wisnu Arya
Wardhana, Einstein Mencari Tuhan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)., hlm. 1-2
[2] Ibid., hlm 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar