Senin, 24 November 2014

AGAMA ADALAH MUARA KEDAMAIAN HATI


Perjalanan hidup yang gersang, seperti alam tanpa pepohonan. Kering kerontang. Tidak ada kenyamanan, kesejukan, ketenangan, dan cinta. Seperti itulah perumpamaan hidup tanpa agama.
Golongan atheisme tidak mengenal sebuah agama. Mereka berkata tidak ada Tuhan, sebab Mereka belum mampu merasakan eksistensi Tuhan.  Tuhan memang tidak bisa dijamah oleh panca indra manusia, namun pada hakikatnya manusia bisa merasakan adanya Tuhan. Allah SWT. berfirman:
Artinya: “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah:186)
Kedamaian cinta sulit merangkul hati seorang yang ingkar agama, Mereka selalu gagal menerima cinta dan menghargai cinta dengan semestinya. Mereka hanya mengenal cinta dunia sebagai budak nafsunya semata. Lain halnya dengan teori cinta yang berkolerasi dengan agama, makna cinta akan berbuah kedamaian, menyejukan pikiran dan memupuk perilaku menjadi serba ikhlas. Inilah kebutuhan rohani, dan agama adalah suplemen-nya.
Ada sebuah pernyataan yang mencengangkan dari tokoh sains terkenal, Einsten. Dia menyatakan bahwa dirinya mempunyai agama sendiri yang belum pernah ada di dunia! Astaghfirullah! Lalu agamanya apa? Siapa nabinya dan apa kitab sucinya?. Siapa penganutnya?. Deretan pertanyaan tentu muncul dibenak hati. Pernyataan demikian ditemukan karena Einstein mengarsipkan sebuah dokumen yang ditulis tangannya sendiri juga artikel tentang dirinya. Dia kumpulkan sekitar 400 buah dokumen. Arsip itu tersimpan pada dua tempat utama, yaitu di Institute For Advance Study di Princeton (Amerika) dan di Hebrew University di Juresalem (Israel). Sebagian lagi tersimpan rapih di Boston University (Amerika).[1]
Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas, kita perlu melakukan observasi mendalam. Einstein dilahirkan dari keturunan Yahudi. Tapi ternyata Einstein bukan beragama Yahudi dan dia tidak yakin kebenaran kitab Taurat, kitab Taurat perlu dikoreksi, karena tidak sesuai dengan akal dan jalan pikirannya. Masa kecil Einstein bersekolah di sekolah Katolik, sehingga diperkirakan Einstein beragama Katolik. Namun faktanya juga bukan beragama Katolik. Lalu apa agama Einstein?.
Banyak tuduhan bahwa Einstein  adalah seorang ateis. Dia belum menemukan agama yang benar-benar rasional dan sesuai jalan pikirannya. Pencariaan Einstein mengenai eksistensi Tuhan tidak menemukan titik terang. Dan Einstein menilai kitab Taurat maupun kitab Injil tidak sesuai dengan logikanya. Apalagi mengenai  antropomorfisme (penyamaan Tuhan dengan mausia), Einstein sangat menolak keras. Suatu ketika Einstein akan dikukuhkan sebagai orang Yahudi, tapi Enstein menolak. Kejadian ini menguatkan tuduhan orang bahwa Einstein adalah ateis.[2]
Dapat disimpulkan bahwa Einstein tidak mengaku sebagai ateis dan dia masih mencari Tuhan. Siapa Tuhan yang patut dia disembah?. Berdasarkan analisanya, dia mengatakan bahwa alam semesta yang mengagumkan ini pastilah ditata dengan hukum-hukum tertentu yang belum dipahami semuanya oleh manusia. Bintang-bintang bergerak pasti ada yang menggerakkannya. Einstein meyakini adanya Tuhan dalam kehidupan.
Demikian sebuah fakta unik yang terjadi pada seorang pendekar ulung dalam fisika dan matematika. Seorang pemikir yang jenius ternyata juga haus akan spiritualitas. Dia menemui kehidupan yang tandus dan hati yang hampa. Sebab ada hal yang tersembunyi yang belum mampu dijangkau oleh otak jeniusnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mendambakan sebuah kedamaian. Semua dapat dicapai bila kebutuhan manusia terpenuhi dengan selaras. Selaras tidak bisa dimaknai hanya dengan pemenuhan intelektual maupun material saja, seperti pada kasus Einstein. Manusia tidak akan sanggup terus-menerus menanggung kegersangan hidup. Manusia  butuh cinta. Cinta yang menenangkan hati. Dan cinta yang sempurna ada dalam naungan agama. Itulah sebabnya manusia butuh agama.


[1] Wisnu Arya Wardhana, Einstein Mencari Tuhan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)., hlm. 1-2
[2] Ibid., hlm 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar