Rabu, 17 Juni 2015

IMAM AL-SYAFI’I

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu: Supangat, M.Ag




Disusun Oleh:
Siti Syafaatun N.        (132311129)
Dani Widyowati         (132311130)
Inayah Sholihah          (132311132)


PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.                   PENDAHULUAN
Dalam perkembangan tasyri’, kodifikasi fiqh terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah. Kodifikasi fiqh melalui metode ilmiah yang tersusun secara sistematis dan komprehensif. Dikatakan karya ilmiah karena didalamnya disajikan berbagai argument, kasual-kausal (‘illat), dan disertai konsep-konsep dasar yang dijadikan pedoman perumusannya. Karya pertama yang diluncurkan adalah karya Abu Hanifah dengan judul “al-Ashl”.
Perkembangan fiqh pada era Dinasti Abbasiyah sangat pesat, diantaranya dipengaruhi oleh munculnya madzhab-madzhab baru yang merupakan kelanjutan pada masa Dinasti Umayyah. Madzhab-madzhab yang muncul diantaranya adalah Madzhab Ja’fari, Madzhab Hanafi, Madzhab al-Auza’I, Madzhab al-Laitsi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’I, Madzhab Hanbali, dan Madzhab al-Dhahiri.
Pada pembahasan makalah ini, penulis menguraikan secara khusus mengenai Madzhab Syafi’i. Salah satu karya al-Syafi’i adalah al-Umm (buku induk), buku ini yang menjadi rujukan fiqh madzhab Syafi’i. Madzhab Syafi’i berkembang pesat hingga tersebar luas di wilayah Irak terutama Baghdad.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Syafi’i?
B.     Bagaimana sosiokultur yang melingkupi perkembangan fiqh Madzhab Syafi’i?
C.     Bagaimana corak atau gagasan fiqh yang digunakan Imam al-Syafi’i?

III.             PEMBAHASAN
A.    RIWAYAT HIDUP IMAM AL-SYAFI’I
Nama asli Imam Al-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib (ayah Abdul Muttalib kakek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam) bin Abdi Manaf. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa salam pada Abdi Manaf. Imam Al-Syafi’i dilahirkan di Kota Ghazzah, kemudian dibawa ke Asqalah, lalu dibawa ibunya ke Mekkah pada usia 10 tahun karena khawatir nasabnya yang mulai akan lenyap.[1] Sebelumnya ibunya membawa beliau ke Hijaz pada usia dua tahun sehingga hidup bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku azdiyah.[2]
 Beliau dilahirkan pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya ketika kekuasaan jatuh pada Abu Ja’far al-Manshur.[3] Ayah beliau meninggal ketika Ia masih kecil. Sejak kecil telah nampak keistimewaan-keistimewaan pada diri beliau. Pada usia tujuh tahun ia sudah hafal Al-Qur’an diluar kepala. Selain itu Ia juga menghafal hadis-hadis Nabi. Pada usia 10 tahun beliau telah hafal Al-Muwaththa’ Karya Imam Malik, dan usia 15 tahun dengan izin gurunya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji untuk berfatwa. Beliau juga banyak menghafal beberapa syair Hudzail.[4]
Imam al-Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan di Kuffah berguru kepada Muhammad Ibnu Al-Hasan Al-Syaibani yang beraliran Hanafi. Di samping itu, Al-Syafi’i berguru kepada beberapa para Ulama selama tinggal di Yaman, Mekkah, dan Kuffah. Beliau memiliki murid yang pada periode berikutnya mengembangkan ajaran fiqh-nya.[5]
Beliau bergelar Nashirul hadits (pembela hadits), karena kegigihannya dalam membela hadits dan komitmennya untuk mengikuti sunah nabi Shallalluhu ‘alaihi wasalam. Imam al-Syafi’i adalah seorang ahli dalam bidang puisi dan sastra serta mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyusun bahasa yang indah.[6]
Imam Syafi’i memiliki banyak karya tulis, diantaranya yang terkemuka adalah:
1.      Kitab Al-Umm, yaitu kitab fiqh yang terdiri dari empat jilid berisi 1128 masalah dan terbagi ke dalam 40 bab lebih.
2.      Kitab Al-Risalah Al-Jadidah, yaitu kitab yang dijadikan sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu jilid besar yang sudah di-tahqiq oleh Ahmad Syakir.
3.      Selain dua kitab di atas, masih ada beberapa kitab yang dinisbahkan kepada beliau, diantaranya kitab Al-Musnad, As-Sunan, Ar-Rad ‘ala Al-Barahimiyah dan Mihnatu Imam Al-Syafi’i.
Imam Syafi’I wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H dan makam beliau bertempat di Kota Mesir. Penyebab kematian beliau adalah karena penyakit wasir yang dialami beliau, sehingga menyebabkan keluar darah secara terus menerus.

B.     KONDISI SOSIO KULTUR
Madzhab Imam Syafi’i tersebar luas di daerah Irak karena disanalah pertama kali madzhab ini muncul. Demikian pula tersebar di mesir sebab beliau pernah tinggal di mesir hingga akhir hayatnya. Pemeluk dari pada madzhab ini berasal dari berbagai penduduk muslim seperti di kawasan khurasan dan sekitar sungai Eufrat, Palestina, Hadramaut, Persia, bahkan menjadi madzhab yang dominan di Pakistan, Srilangka, India, Indonesia, dan Australia[7].
Diantara penyebab tersebarnya madzhab Imam Syafi’i adalah kitab-kitab yang pernah di tulis oleh beliau, majlis ilmunya, dan perjalanannya ke berbagai negeri Islam pada waktu itu.    Secara periodik fiqh syafi’i terbagi menjadi tiga[8] :
a.       Periode pertama
Mekkah adalah periode awal imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqh, setelah meniggalkan kota baghdad, kemudian tinggal di mekkah selama 9 tahun, beliau menuntut ilmu dan mencurahkan waktunya dalam dunia ilmu  pengetahuan. Disana beliau mendapatkan kematangan ilmu dan mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah beliau lakukan. Di makkah Imam Al-Syafi’i juga mendalami dalil-dalil Al–Qur’an dan menghimpun berbagai hadist. Upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana kedudukan hadist di sisi Al-Qur’an. Kitab Ar-Risalah adalah buah karya syafi’i selama periode makkah yang sengaja beliau susun atas permintaan Abdul Rahman Al-Mahdi.
b.      Periode kedua
Imam Syafi’i datang ke Kota Baghdad pada tahun 195 H. pada tahun inilah Syafi’i memulai periode ke duanya. Beliau tinggal selama kuarang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya. Imam Syafi’i mengungkapkan perbedaan pendapat yang terjadi di antara para sahabat dan latar belakang di balik perbedaan tersebut.
c.       Periode ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah beliau pindah ke mesir pada tahun 199 H. Disana beliau menetap selama empat tahun sampai beliau wafat. Di mesir terdapat berbagai warisan berharga yang di tinggalkan oleh kalangan tabi’in. Karena itu Syafi’i berupaya kembali untuk mendalami ide-ide pemikirannya yang muncul dimasa silam berdasarakan pengalaman dan kebiasaan tempat Ia tinggal. Di Mesir beliau kembali melanjutkan penulisan kitab ushulnya ar-Risalah. Kitab ar-Risalah merupakan salah satu kitab Al-Syafi’i dimana penulisan literatur khazanah keislaman dan dari segi metodeloginya didesain dalam model terbaru. Kitab ar-Risalah ini merupakan karya asy-Syafi’i yang paling terkemuka.
   
C.    CORAK FIQH IMAM AL-SYAFI’I
Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istimbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut; bahwa “asal adalah Al-Qur’an dan As-sunnah, kemudian apabila tidak ada pada Al-Qur’an dan sunnah maka ia melakukan qiyas terhadap keduanya. Dengan demikian dalil hukum bagi Syafi’i adalah al-Qur’an, sunah, dan ijma’. Sedangkan teknik ijtihad yang digunakan adalah al-Qiyas.[9]
Imam Syafi’i memiliki peranan penting dalam membela sunah Rasul dengan cara menghancurkan segala upaya musuh dengan menyebarkan isu bahwa tidak layak menerima sesuatu yang tidak satu makna dengan Al-Qur’an dan sunnah. Imam Syafi’i juga telah menjelaskan betapa besar dampak dari orang yang mengingkari sunah atau tidak mau menerima hadis yang tidak sesuai dengan makna Al-Qur’an. Jadi dalam ijtihatnya imam syafi’I memberi kelonggaran dalam menerima hadist tidak memberikan syarat dalam hadist ahad kecuali ketersambungan dan keshohihan sanad saja. Kemudian imam syafi’I juga memiliki kemampuan yang sangat mempuni untuk melakukan istimbat setelah beliau menelaah banyak kitab dengan berbagai aliran pemikiran dan mazhab seperti madrasah makkah tempatnya tumbuh dan berkembang, madrasah madinah negeri tempatnya berhijrah, serta madrasah irak yang pernah beliau tempati untuk beberapa waktu.
Karena imam asy syafi’I memiliki ketajaman bahasa dan kedalaman ilmu tentang sunnah, serata berpengalan dalam menelaah dalam masalah fiqih maka beliau juga tidak mengalami kesulitan untuk membuat ilmu ushul fiqh agar orang tau bagaimana mengenal pendapat yang benar dari yang salah, menjadi aturan yang harus diperhitungkan ketika melakukan istimbat hukum yang baru, maka beliau menulis kitab ar-Risalah yang merupakan hasil karya pertama dalam bidang ilmu ushul fiqh.[10]
Corak pemikiran Imam Syafi’I terbagi kedalam dua kelompok yaitu qaul qadim (pemikiran lama) dan qaul jadid (pemikiran baru). Qaul qadim merupakan pemikiran beliau ketika masih tinggal di Irak (rasionalis), sedang qaul jadid adalah pemikiran beliau ketika tinggal di Mesir yang merupakan hasil kolaborasi corak pemikiran ulama Hijaz (tekstual) dan Irak (rasionalis).
Dalam qaul qadim al-Syafi’i menuangkan pemikirannya dalam buku “Al-Hujjah” yang menjadi pedoman murid-muridnya di Irak, seperti Ibn Hanban, al-Za’farani, Abu Tsaur, al-Karabisi, dan lain-lain. Fatwa-fatwa qaul qadim  kebanyakan tertuang dalam kitab Al-Risalah dan Al-Hujjah. Kitab al-Hujjah dan fatwa-fatwa lainnya pada periode ini diriwayatkan oleh empat orang sahabatnya yang terkemuka di Baghdad, yaitu al-Karabisi, al-Za'farani, Abu Saur, dan Ahmad ibn Hanbal. Merekalah yang menjadi rujukan fiqh al-Syafi’i di Baghdad pada wal abad ke-3 H.
Dan qaul jadid dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Umm (buku induk). Kitab tersebut menjadi pedoman murid-muridnya di Mesir, diantaranya al-Buwaithi, al-Muzanni, al-Rabi, dan lain-lain.[11]  Selain tertuang pada kitab Al-Umm, qaul jadid juga tertuang dalam kitab Al-Risalah, Al-‘Amali, Al-Ilma’, dan lain-lain.  Fatwa-fatwa qaul jadid terutama diriwayatkan enam orang sahabat al-Syafi’i di Mesir, yaitu al-Buwaithi, al-Muzani, dan al-Rabi’ al Muradi. Merekalah yang mendorong madzhab al-Syafi’i berkembang dan tersebar ke berbagai wilayah Islam.
Apabila terdapat pertentangan antara qaul qadim dan qaul jadid, maka mayoritas yang diunggulkan adalah qaul jadid. Hal ini juga dinyatakan oleh ashhab (para pengikut al-Syafi’i). fatwa-fatwa qaul jadid-lah yang diamalkan, karena itulah yang dianggap shahih sebagai madzhab al-Syafi’i. Sebab pada prinsipnya, semua fatwa qaul qadim yang bertentangan dengan fatwa qaul jadid dianggap telah ditinggalkan (marju’anh) bahkan tidak dipandang lagi sebagai madzhab al-Syafi’i.[12]
Perubahan fatwa tersebut menunjukan bahwa Imam al-Syafi’i merupakan Imam yang tidak kaku. Dalam perumusan hukum, beliau mampu menyesuaikan kebutuhan dan keadaan masyarakat. Jika kita telaah lebih mendalam mengenai kemunculan qaul qadim dan qauk jadid, maka akan membuktikan fleksibilitas fiqh, juga terdapat ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut para ahli sejarah fiqh, madzhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak, tahun 195 H. Kedatangan beliau ke Baghdad ketika Pemerintahan jatuh pada khalifah al-Amin. Imam Syafi’i dilibatkan pada perdebatan sengit dengan para ahli fiqh rasional Irak.[13]

IV.             SIMPULAN
Imam as-Syafi’i merupahakan salah satu Imam Madzhab yang jumlah pemeluknya berasal dari berbagai penduduk Muslim, bahkan menjadi madzhab dominan di Indonesia. Beliau terlahir di Kota Ghazzah. Himpir seluruh waktu dalam hidupnya dicurahkan dalam dunia ilmu pengetahuan. Sejak usia muda sampai akhir hayatnya, beliau tidak pernah lelah menuntut ilmu ke berbagai tempat seperti Yaman, Mekkah, dan Kuffah.
Imam as-Syafi’i memberi pengaruh besar dalam perkembangan tasyri’. Kesungguhan hatinya dalam mengkaji ilmu fiqh membawa beliau pada berbagai persoalan-persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat.  Beliau berupaya menyelesaikan berbagai masalah hukum berdasarkan manhajnya. Sehingga dalam fiqh Islam banyak diwarnai oleh gagasan-gagasan beliau.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat memberikan kemanfaatan bagi kita semua. Dan kami menyadari penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran kami harapkan demi perbaikan makalah ini dan makalah selanjutnya. Wallahu’alam bish bshowwab.


DAFTAR PUSTAKA

A. Sirry, Mun’im. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Baihaqi, Imam. Manaaqib Asy-Syafi’i, n.d.
Hasan Khalil, Rasyad. Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.
Ibrahim al-Fayyuni, Muhammad. Imam Syafi’i Pelopor Fiqih Dan Sastra, Mengenal Imam Madzhab Panutan Umat. Jakarta: Erlangga, 2008.
Mubarok, Jaih. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Mukhlishin, Nurul. Ringkasan Aqidah Dan Manhaj Imam Syafi’i. Abu Salma, 2007.
Nasution, Lahmuddin. Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Ridlwan Akbar, Arif, M. Harun Ide, Shobron Jamil Pkl, Muhammad Habibie, Abdul Mu’iz Ali, and Rowiyul Ahmad. Sejarah Tasyri’ Islam, Periodisasi Legislasi Islam Dalam Bingkai Sejarah. Surabaya: Khalista, 2006.
Yafie, Ali. Sejarah Fiqh Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.











 




[1] Imam Baihaqi, Manaaqib Asy-Syafi’i, n.d.
[2] Nurul Mukhlishin, Ringkasan Aqidah Dan Manhaj Imam Syafi’i (Abu Salma, 2007)., hlm. 2
[3] Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000)., hlm. 101
[4] Mukhlishin, Ringkasan Aqidah Dan Manhaj Imam Syafi’i., hlm. 3
[5] Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam., hlm. 102-103
[6] Ali Yafie, Sejarah Fiqh Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)., hlm. 100
[7] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009)., hlm 193
[8] Muhammad Ibrahim al-Fayyuni, Imam Syafi’i Pelopor Fiqih Dan Sastra, Mengenal Imam Madzhab Panutan Umat (Jakarta: Erlangga, 2008)., hlm. 92-95
[9] Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam.
[10] Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam., hlm. 191-192
[11] Arif Ridlwan Akbar et al., Sejarah Tasyri’ Islam, Periodisasi Legislasi Islam Dalam Bingkai Sejarah (Surabaya: Khalista, 2006)., hlm. 261
[12] Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001)., hlm. 173-175
[13] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)., hlm. 106-107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar