IMAM AL-SYAFI’I
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu: Supangat, M.Ag
Disusun Oleh:
Siti Syafaatun N. (132311129)
Dani Widyowati (132311130)
Inayah Sholihah (132311132)
PROGRAM STUDI
MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

I.
PENDAHULUAN
Dalam perkembangan tasyri’, kodifikasi fiqh terjadi pada masa
Dinasti Abbasiyah. Kodifikasi fiqh melalui metode ilmiah yang tersusun secara
sistematis dan komprehensif. Dikatakan karya ilmiah karena didalamnya disajikan
berbagai argument, kasual-kausal (‘illat), dan disertai konsep-konsep
dasar yang dijadikan pedoman perumusannya. Karya pertama yang diluncurkan
adalah karya Abu Hanifah dengan judul “al-Ashl”.
Perkembangan fiqh pada era Dinasti Abbasiyah sangat pesat,
diantaranya dipengaruhi oleh munculnya madzhab-madzhab baru yang merupakan
kelanjutan pada masa Dinasti Umayyah. Madzhab-madzhab yang muncul diantaranya
adalah Madzhab Ja’fari, Madzhab Hanafi, Madzhab al-Auza’I, Madzhab al-Laitsi,
Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’I, Madzhab Hanbali, dan Madzhab al-Dhahiri.
Pada pembahasan makalah ini, penulis menguraikan secara khusus
mengenai Madzhab Syafi’i. Salah satu karya al-Syafi’i adalah al-Umm
(buku induk), buku ini yang menjadi rujukan fiqh madzhab Syafi’i. Madzhab
Syafi’i berkembang pesat hingga tersebar luas di wilayah Irak terutama Baghdad.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana riwayat hidup Imam
Al-Syafi’i?
B. Bagaimana sosiokultur yang
melingkupi perkembangan fiqh Madzhab Syafi’i?
C. Bagaimana corak atau gagasan fiqh
yang digunakan Imam al-Syafi’i?
III.
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP IMAM AL-SYAFI’I
Nama asli Imam
Al-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin
Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib (ayah Abdul Muttalib kakek
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam) bin Abdi Manaf. Beliau bertemu
nasabnya dengan Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa salam pada Abdi Manaf. Imam
Al-Syafi’i dilahirkan di Kota Ghazzah, kemudian dibawa ke Asqalah, lalu dibawa
ibunya ke Mekkah pada usia 10 tahun karena khawatir nasabnya yang mulai akan
lenyap.[1]
Sebelumnya ibunya membawa beliau ke Hijaz pada usia dua tahun sehingga hidup
bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku azdiyah.[2]
Beliau dilahirkan pada zaman Dinasti Bani
Abbas, tepatnya ketika kekuasaan jatuh pada Abu Ja’far al-Manshur.[3]
Ayah beliau meninggal ketika Ia masih kecil. Sejak kecil telah nampak
keistimewaan-keistimewaan pada diri beliau. Pada usia tujuh tahun ia sudah
hafal Al-Qur’an diluar kepala. Selain itu Ia juga menghafal hadis-hadis Nabi.
Pada usia 10 tahun beliau telah hafal Al-Muwaththa’ Karya Imam Malik,
dan usia 15 tahun dengan izin gurunya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji
untuk berfatwa. Beliau juga banyak menghafal beberapa syair Hudzail.[4]
Imam
al-Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan di Kuffah berguru kepada Muhammad Ibnu
Al-Hasan Al-Syaibani yang beraliran Hanafi. Di samping itu, Al-Syafi’i berguru
kepada beberapa para Ulama selama tinggal di Yaman, Mekkah, dan Kuffah. Beliau
memiliki murid yang pada periode berikutnya mengembangkan ajaran fiqh-nya.[5]
Beliau
bergelar Nashirul hadits (pembela hadits), karena kegigihannya dalam
membela hadits dan komitmennya untuk mengikuti sunah nabi Shallalluhu ‘alaihi
wasalam. Imam al-Syafi’i adalah seorang ahli dalam bidang puisi dan sastra
serta mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyusun bahasa yang indah.[6]
Imam Syafi’i
memiliki banyak karya tulis, diantaranya yang terkemuka adalah:
1. Kitab Al-Umm, yaitu kitab
fiqh yang terdiri dari empat jilid berisi 1128 masalah dan terbagi ke dalam 40
bab lebih.
2. Kitab Al-Risalah Al-Jadidah,
yaitu kitab yang dijadikan sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari
satu jilid besar yang sudah di-tahqiq oleh Ahmad Syakir.
3. Selain dua kitab di atas, masih ada
beberapa kitab yang dinisbahkan kepada beliau, diantaranya kitab Al-Musnad,
As-Sunan, Ar-Rad ‘ala Al-Barahimiyah dan Mihnatu Imam Al-Syafi’i.
Imam Syafi’I wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H dan makam
beliau bertempat di Kota Mesir. Penyebab kematian beliau adalah karena penyakit
wasir yang dialami beliau, sehingga menyebabkan keluar darah secara terus
menerus.
B. KONDISI SOSIO KULTUR
Madzhab Imam
Syafi’i tersebar luas di daerah Irak karena disanalah pertama kali madzhab ini
muncul. Demikian pula tersebar di mesir sebab beliau pernah tinggal di mesir
hingga akhir hayatnya. Pemeluk dari pada madzhab ini berasal dari berbagai
penduduk muslim seperti di kawasan khurasan dan sekitar sungai Eufrat, Palestina,
Hadramaut, Persia, bahkan menjadi madzhab yang dominan di Pakistan, Srilangka,
India, Indonesia, dan Australia[7].
Diantara
penyebab tersebarnya madzhab Imam Syafi’i adalah kitab-kitab yang pernah di
tulis oleh beliau, majlis ilmunya, dan perjalanannya ke berbagai negeri Islam
pada waktu itu. Secara
periodik fiqh syafi’i terbagi menjadi tiga[8]
:
a. Periode pertama
Mekkah adalah
periode awal imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqh, setelah meniggalkan kota
baghdad, kemudian tinggal di mekkah selama 9 tahun, beliau menuntut ilmu dan
mencurahkan waktunya dalam dunia ilmu
pengetahuan. Disana beliau mendapatkan kematangan ilmu dan mampu
menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah beliau lakukan. Di
makkah Imam Al-Syafi’i juga mendalami dalil-dalil Al–Qur’an dan menghimpun
berbagai hadist. Upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana kedudukan hadist di
sisi Al-Qur’an. Kitab Ar-Risalah adalah buah karya syafi’i selama
periode makkah yang sengaja beliau susun atas permintaan Abdul Rahman Al-Mahdi.
b. Periode kedua
Imam Syafi’i
datang ke Kota Baghdad pada tahun 195 H. pada tahun inilah Syafi’i memulai
periode ke duanya. Beliau tinggal selama kuarang lebih tiga tahun. Pada masa
ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa
dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Di masa ini pula Imam
Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada
ushulnya. Imam Syafi’i mengungkapkan perbedaan pendapat yang terjadi di antara
para sahabat dan latar belakang di balik perbedaan tersebut.
c. Periode ketiga
Imam Syafi’i
menghabiskan periode ketiga ini setelah beliau pindah ke mesir pada tahun 199
H. Disana beliau menetap selama empat tahun sampai beliau wafat. Di mesir
terdapat berbagai warisan berharga yang di tinggalkan oleh kalangan tabi’in.
Karena itu Syafi’i berupaya kembali untuk mendalami ide-ide pemikirannya yang
muncul dimasa silam berdasarakan pengalaman dan kebiasaan tempat Ia tinggal. Di
Mesir beliau kembali melanjutkan penulisan kitab ushulnya ar-Risalah.
Kitab ar-Risalah merupakan salah satu kitab Al-Syafi’i dimana penulisan
literatur khazanah keislaman dan dari segi metodeloginya didesain dalam model
terbaru. Kitab ar-Risalah ini merupakan karya asy-Syafi’i yang paling
terkemuka.
C. CORAK FIQH IMAM AL-SYAFI’I
Seperti Imam
Madzhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istimbath al-ahkam tersendiri.
Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut; bahwa “asal adalah
Al-Qur’an dan As-sunnah, kemudian apabila tidak ada pada Al-Qur’an dan sunnah
maka ia melakukan qiyas terhadap keduanya. Dengan demikian dalil hukum bagi
Syafi’i adalah al-Qur’an, sunah, dan ijma’. Sedangkan teknik ijtihad yang
digunakan adalah al-Qiyas.[9]
Imam Syafi’i
memiliki peranan penting dalam membela sunah Rasul dengan cara menghancurkan
segala upaya musuh dengan menyebarkan isu bahwa tidak layak menerima sesuatu
yang tidak satu makna dengan Al-Qur’an dan sunnah. Imam Syafi’i juga telah
menjelaskan betapa besar dampak dari orang yang mengingkari sunah atau tidak
mau menerima hadis yang tidak sesuai dengan makna Al-Qur’an. Jadi dalam
ijtihatnya imam syafi’I memberi kelonggaran dalam menerima hadist tidak
memberikan syarat dalam hadist ahad kecuali ketersambungan dan keshohihan sanad
saja. Kemudian imam syafi’I juga memiliki kemampuan yang sangat mempuni untuk
melakukan istimbat setelah beliau menelaah banyak kitab dengan berbagai aliran
pemikiran dan mazhab seperti madrasah makkah tempatnya tumbuh dan berkembang, madrasah
madinah negeri tempatnya berhijrah, serta madrasah irak yang pernah beliau
tempati untuk beberapa waktu.
Karena imam
asy syafi’I memiliki ketajaman bahasa dan kedalaman ilmu tentang sunnah, serata
berpengalan dalam menelaah dalam masalah fiqih maka beliau juga tidak mengalami
kesulitan untuk membuat ilmu ushul fiqh agar orang tau bagaimana mengenal
pendapat yang benar dari yang salah, menjadi aturan yang harus diperhitungkan
ketika melakukan istimbat hukum yang baru, maka beliau menulis kitab ar-Risalah
yang merupakan hasil karya pertama dalam bidang ilmu ushul fiqh.[10]
Corak
pemikiran Imam Syafi’I terbagi kedalam dua kelompok yaitu qaul qadim
(pemikiran lama) dan qaul jadid (pemikiran baru). Qaul qadim merupakan
pemikiran beliau ketika masih tinggal di Irak (rasionalis), sedang qaul
jadid adalah pemikiran beliau ketika tinggal di Mesir yang merupakan hasil
kolaborasi corak pemikiran ulama Hijaz (tekstual) dan Irak (rasionalis).
Dalam qaul
qadim al-Syafi’i menuangkan pemikirannya dalam buku “Al-Hujjah” yang
menjadi pedoman murid-muridnya di Irak, seperti Ibn Hanban, al-Za’farani, Abu
Tsaur, al-Karabisi, dan lain-lain. Fatwa-fatwa qaul qadim kebanyakan tertuang dalam kitab Al-Risalah
dan Al-Hujjah. Kitab al-Hujjah dan fatwa-fatwa lainnya pada
periode ini diriwayatkan oleh empat orang sahabatnya yang terkemuka di Baghdad,
yaitu al-Karabisi, al-Za'farani, Abu Saur, dan Ahmad ibn Hanbal. Merekalah yang
menjadi rujukan fiqh al-Syafi’i di Baghdad pada wal abad ke-3 H.
Dan qaul
jadid dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Umm (buku induk).
Kitab tersebut menjadi pedoman murid-muridnya di Mesir, diantaranya
al-Buwaithi, al-Muzanni, al-Rabi, dan lain-lain.[11] Selain tertuang pada kitab Al-Umm, qaul
jadid juga tertuang dalam kitab Al-Risalah, Al-‘Amali, Al-Ilma’, dan
lain-lain. Fatwa-fatwa qaul jadid
terutama diriwayatkan enam orang sahabat al-Syafi’i di Mesir, yaitu
al-Buwaithi, al-Muzani, dan al-Rabi’ al Muradi. Merekalah yang mendorong
madzhab al-Syafi’i berkembang dan tersebar ke berbagai wilayah Islam.
Apabila
terdapat pertentangan antara qaul qadim dan qaul jadid, maka
mayoritas yang diunggulkan adalah qaul jadid. Hal ini juga
dinyatakan oleh ashhab (para pengikut al-Syafi’i). fatwa-fatwa qaul
jadid-lah yang diamalkan, karena itulah yang dianggap shahih sebagai
madzhab al-Syafi’i. Sebab pada prinsipnya, semua fatwa qaul qadim yang
bertentangan dengan fatwa qaul jadid dianggap telah ditinggalkan (marju’anh)
bahkan tidak dipandang lagi sebagai madzhab al-Syafi’i.[12]
Perubahan
fatwa tersebut menunjukan bahwa Imam al-Syafi’i merupakan Imam yang tidak kaku.
Dalam perumusan hukum, beliau mampu menyesuaikan kebutuhan dan keadaan
masyarakat. Jika kita telaah lebih mendalam mengenai kemunculan qaul qadim dan
qauk jadid, maka akan membuktikan fleksibilitas fiqh, juga terdapat
ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut para
ahli sejarah fiqh, madzhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak, tahun
195 H. Kedatangan beliau ke Baghdad ketika Pemerintahan jatuh pada khalifah
al-Amin. Imam Syafi’i dilibatkan pada perdebatan sengit dengan para ahli fiqh
rasional Irak.[13]
IV.
SIMPULAN
Imam
as-Syafi’i merupahakan salah satu Imam Madzhab yang jumlah pemeluknya berasal
dari berbagai penduduk Muslim, bahkan menjadi madzhab dominan di Indonesia.
Beliau terlahir di Kota Ghazzah. Himpir seluruh waktu dalam hidupnya dicurahkan
dalam dunia ilmu pengetahuan. Sejak usia muda sampai akhir hayatnya, beliau
tidak pernah lelah menuntut ilmu ke berbagai tempat seperti Yaman, Mekkah, dan
Kuffah.
Imam
as-Syafi’i memberi pengaruh besar dalam perkembangan tasyri’. Kesungguhan
hatinya dalam mengkaji ilmu fiqh membawa beliau pada berbagai
persoalan-persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat. Beliau berupaya menyelesaikan berbagai
masalah hukum berdasarkan manhajnya. Sehingga dalam fiqh Islam banyak diwarnai
oleh gagasan-gagasan beliau.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami
susun. Semoga dapat memberikan kemanfaatan bagi kita semua. Dan kami menyadari
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, kritik dan saran kami harapkan demi perbaikan makalah ini dan makalah
selanjutnya. Wallahu’alam bish bshowwab.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sirry,
Mun’im. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Baihaqi, Imam.
Manaaqib Asy-Syafi’i, n.d.
Hasan Khalil,
Rasyad. Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2009.
Ibrahim
al-Fayyuni, Muhammad. Imam Syafi’i Pelopor Fiqih Dan Sastra, Mengenal Imam
Madzhab Panutan Umat. Jakarta: Erlangga, 2008.
Mubarok, Jaih.
Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000.
Mukhlishin,
Nurul. Ringkasan Aqidah Dan Manhaj Imam Syafi’i. Abu Salma, 2007.
Nasution,
Lahmuddin. Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2001.
Ridlwan Akbar,
Arif, M. Harun Ide, Shobron Jamil Pkl, Muhammad Habibie, Abdul Mu’iz Ali, and
Rowiyul Ahmad. Sejarah Tasyri’ Islam, Periodisasi Legislasi Islam Dalam
Bingkai Sejarah. Surabaya: Khalista, 2006.
Yafie, Ali. Sejarah
Fiqh Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
![]() |
|
![]() |
[3] Jaih Mubarok, Sejarah
Dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000)., hlm. 101
[7] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2009)., hlm 193
[8] Muhammad
Ibrahim al-Fayyuni, Imam Syafi’i Pelopor Fiqih Dan Sastra, Mengenal Imam
Madzhab Panutan Umat (Jakarta: Erlangga, 2008)., hlm. 92-95
[11] Arif Ridlwan
Akbar et al., Sejarah Tasyri’ Islam, Periodisasi Legislasi Islam Dalam
Bingkai Sejarah (Surabaya: Khalista, 2006)., hlm. 261
[12] Lahmuddin
Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2001)., hlm. 173-175
Tidak ada komentar:
Posting Komentar