HUKUM DAN KEDUDUKAN SEWA BELI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Mauamalah 2
Dosen Pengampu: Mahsun M.Ag
Disusun Oleh:
Inayah Sholihah (132311132)
Fitri Yanti (132311156)
PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini,
kajian dan pembicaraan ekonomi Islam telah merebak ke seluruh atmosfir bumi
tercinta ini. Didukung pula oleh kegairahan dan semangat beragama masyarakat
yang mulai menonjol. Berdasarkan tuntutan zaman, maka banyak bermunculan ragam
dan bentuk muamalah dengan berbagai cara dan coraknya. Diantaranya penulis
sebutkan adalah sewa beli atau dikenal juga dengan istilah leasing. Sewa beli
juga telah menarik perhatian para ekonom muslim untuk dikaji lebih mendalam,
sehingga istilah leasing juga dikenalkan oleh lembaga keuangan syariah dengan
istilah Ijaarah Muntahia Bi Al-Tamlik (IMBT).
Dalam
kesempatan ini, penulis akan mengurai pembahasan mengenai sewa beli. Pembahasan
sewa beli ini lebih menitik beratkan pada hukum dan kedudukan dari sewa beli.
Penulis juga akan menambahkan rujukan dari fatwa Dewan Syariah Nasional perihal
IMBT.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa pengertian
Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik?
B.
Bagaimana
hukum dan kedudukan Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijarah
Muntahia bi Al-Tamlik
Ijarah
Muntahia bi Al-Tamlik adalah praktek muamalah dengan
bentuk sewa yang kemudian diakhiri dengan penyerahan status kepemilikan barang
kepada penyewa. Transaksi ini merupakan perpaduan atas kontrak sewa dan jual
beli.[1] Pengertian
sewa beli berdasarkan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) adalah perjanjian
sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang
disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.[2]
Proses
pelaksanaan sewa bermula pada akad sewa, kemudian apabila penyewa berkeinginan
melanjutkan pada akad beli, maka demikian yang dinamakan sewa beli. Akan tetapi apabila penyewa memutuskan untuk
berhenti pada tahap sewa saja, maka hal itu merupakan
akad sewa saja bukan sewa beli. Adapun mengenai tempo masa ijarah dikembalikan pada kesepakatan
kedua belah pihak. Dan syarat dan rukun
sewa (ijarah) sama halnya dengan syarat dan rukun sewa biasa atau sebagaimana
yang telah ditentukan dalam fatwa DSN.
Selain istilah
Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik (IMBT), sewa beli juga disebut al-Ijarah
thumma al-bai’ (AITAB). AITAB lebih populer di negara Malaysia, sebagaimana
diterapkan juga oleh Institusi perbankan Islam di Malaysia.[3]
Lebih lanjut, Lembaga Majelis Penasihat Syariah (MPS) Malaysia membuat putusan
sebagai berikut: “MPS pada mesyuarat pertama bertarikh 8 julai 1997 dan
mesyuarat ke-36 bertarikh 26 Jun 2003 telah memutuskan bahawa penggunaan konsep
AITAB adalah dibenarkan, ....”.[4]
B.
Hukum dan
Kedudukan Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik
IMBT terikat
oleh dua akad yakni sewa kemudian jual beli. Padahal dua akad tersebut memiliki
karakter yang berbeda. Secara implisit nampaknya sulit dipersatukan. Akad sewa
yakni pelimpahan manfaat atas suatu benda yang sifatnya sementara, sedang akad
jual beli bertujuan untuk pengalihan kepemilikan yang sifatnya selamanya. Sebagai
ekonom muslim, tentu timbul kekhawatiran akan praktek IMBT yang tidak sesuai
syariat. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis:
نهى رسو ل الله
عليه و سلم عن صفقتين في صفقة واحدة
“Rasululllah saw melarang dua
bentuk akad sekaligus dalam satu objek.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Mas’ud).
Dari hadis
diatas, jelas bahwasannya dalam satu objek transaksi tidak bisa digabungkan
dengan dua akad. Lalu bagaimana hukum dari sewa beli?. Sewa beli perlu ditinjau
lebih mendalam. Apabila melihat hukum asal dari muamalah maka hukumnya mubah
(boleh). Sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqh:
الأصل في
المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
“Pada dasarnya, segala bentuk
mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Selain kaidah
fiqh di atas, juga terdapat dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi saw bersabda:
الصلح جائز بين
المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو احل حراما و المسلمين على شروطهم إلا شرط حرم
حلالا أو أحل حراما
“Perjanjian boleh dilakukan di
antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram,; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.”
Kendati
hukumnya boleh, kita harus mempertimbangkan beberapa hal agar IMBT tidak
terikat oleh dua akad sekaligus secara bersamaan. Menimbang sewa beli sebagai
salah satu kebutuhan masyarakat, maka Dewan Syariah Nasional juga memandang
perlu menetapkan fatwa tentang sewa beli yang sesuai dengan syari’ah.
Diharapkan fatwa mengenai akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik
tersebut bisa dijadikan pedoman agar dalam pelaksanaanya tidak melanggar
tuntunan Islam. Fatwa DSN tentang IMBT dibagi dalam dua aspek, yakni ketentuan
umum dan ketentuan tentang al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik.
1. Ketentuan Umum
Akad al-ijarah
al-muntahia bi al-tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Semua rukun
dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000)
berlaku pula dalam akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik.
b.
Perjanjian
untuk melakukan akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus disepakati
ketika akad Ijarah ditandatangani.
c.
Hak dan
kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
2. Ketentuan tentang al-ijarah al-muntahia bi
al-tamlik:
a. Pihak yang melakukan al-ijarah al-muntahia
bi al-tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad
pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat
dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
b. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati
di awal akad Ijarah adalah wa’d (الوعد),
yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus
ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.[5]
Dari fatwa di
atas maka akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus dilaksanakan
secara bertahap, yakni ada pemisahan antara akad sewa dan jual beli. Akad
Ijarah harus lebih dulu diselesaikan, kemudian pihak penyewa boleh melanjutkan
dengan transaksi jual beli.
Selain fatwa
dari DSN, para Ulama yang
tergabung dalam Majlis Majma’ al-Fiqh al-Islami internasional yang merupakan
bagian dari Munâzhamah al-Mu’tamar al-Islami (OKI) dalam daurahnya yang ke-12
di kota Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia menjelaskan kreteria IMBT yang tidak melanggar
syariat. Mereka melakukan muktamar dengan melihat makalah-makalah yang
disampaikan kepada al-Majma’ berkenaan dengan masalah sewa yang berakhir dengan
pemilikan (al-ijâr al-muntahi bit tamlîk) . Juga setelah mendengar diskusi yang
berkisar masalah ini dengan peran serta para anggota al-majma’ dan para
pakarnya serta sejumlah ahli fikih, menetapkan kriterianya, yaitu:
Pertama: ketentuan
bentuk-bentuk yang terlarang adalah adanya dua transaksi yang berbeda dalam
satu waktu pada satu barang.
Kedua: Ketentuan
bentuk-bentuk yang diperbolehkan:
a.
Adanya dua transaksi yang terpisah dari sisi waktu, masing-masing berdiri
sendiri. Dalam bentuk ini, transaksi jual beli dipermanenkan setelah transaksi ijarah
(sewa menyewa) atau adanya janji kepemilikan di akhir masa sewa dan hak khiyar
(hak pilih) setara dengan janji tersebut dalam hukum.
b.
Sewa menyewa tersebut benar-benar ada (fi’liyyah/real) bukan
sebagai kamuflase (sâtirah) jual beli.
1.
Jaminan (dhamân) barang yang disewakan adalah tanggung jawab
pemilik, bukan pada penyewa. Dengan demikian penyewa tidak memikul beban semua
yang menimpa barang yang bukan disebabkan oleh kesengajaan atau keteledoran
penyewa. Penyewa tidak diwajibkan sama sekali apabila manfaat barang hilang.
2.
Apabila transaksi mengandung asuransi barang sewaan, maka asuransinya wajib
berbentuk ta’âwuni syariat bukan konvensional dan yang bertanggung jawab untuk
membayar adalah pemilik atau yang memberikan sewaan (al-mu`jir) bukan
orang yang menyewanya (al-musta`jir).
3.
Diwajibkan penerapan hukum-hukum sewa menyewa selama masa penyewaan pada
transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan dan penerapan hukum-hukum jual
beli ketika pemilikan barang tersebut.
4.
Nafkah pemeliharaan yang tidak menyangkut operasional tanggung jawab
pemberi sewaan (al-mu`jir) bukan kepada penyewa (al-musta`jir)
selama masa penyewaan.[6]
IV.
KESIMPULAN
Ijarah
Muntahia bi Al-Tamlik adalah praktek muamalah dengan
bentuk sewa yang kemudian diakhiri dengan penyerahan status kepemilikan barang
kepada penyewa. Dasar hukum sewa beli terdapat pada Nabi yang diriwayatkan oleh
Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi saw bersabda:
الصلح جائز بين
المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو احل حراما و المسلمين على شروطهم إلا شرط حرم
حلالا أو أحل حراما
“Perjanjian
boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram,; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang
menghalalkan yang haram.”
Akad al-ijarah
al-muntahia bi al-tamlik harus dilaksanakan secara bertahap, yakni ada
pemisahan antara akad sewa dan jual beli. Akad Ijarah harus lebih dulu
diselesaikan, kemudian pihak penyewa boleh melanjutkan dengan transaksi jual
beli.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang bisa kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan yang
terdapat pada makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran akan sangat
membantu kami sebagai pertimbangan dan perbaikan dalam penulisan makalah kami
selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wallahu ‘alam bis
shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
Bin
Muahamma al-’Umrani, Abdullah. Kitab Al-‘Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah.
Daar Kunuuz Isybiliya, 1428.
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid I. Ciputat:
Gaung Persada, 2006.
Nurfarhana, and Abdul Ghaffar. Kadar
Sewaan Dalam Instrumen Pembiyaan Bagi Kontrak Ijarah Di Perbankan Islam,
Prosiding PERKEM VIII, Jilid I. ISSN: 2231-962X. Pusat Pengajian Ekonomi,
Universitas Kebangsaan Malaysia, 2013.
Sutardi, Tatang. Ijarah: Aplikasi
Pada Lembaga Keuangan Syariah. Tanah Grogot, n.d.
[1] Abdullah bin
Muahamma al-’Umrani, Kitab Al-‘Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah (Daar
Kunuuz Isybiliya, 1428)., hlm. 193-227
[2] Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI,
Jilid I (Ciputat: Gaung Persada, 2006)., hlm. 160
[4] Nurfarhana and
Abdul Ghaffar, Kadar Sewaan Dalam Instrumen Pembiyaan Bagi Kontrak Ijarah Di
Perbankan Islam, Prosiding PERKEM VIII, Jilid I, ISSN: 2231-962X (Pusat
Pengajian Ekonomi, Universitas Kebangsaan Malaysia, 2013).