Minggu, 16 November 2014

Fasakh, Li'an, Ila', dan Dzihar

I.                   PENDAHULUAN
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat yang sangat berperan dominan terhadap perkembangan sosial Keluarga dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga.  Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan suatu kesatuan yang kuat, apabila terdapat hubungan yang baik antara sesamanya. dimana hubungan yang baik ini ditandai dengan adanya keserasian serta keharmonisan dalam hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam keluarga tersebut. Keserasian dan keharmonisan inilah yang merupakan salah satu faktor suatu keluarga dapat dikatakan bahagia atau tidak bahagia.
Pernikahan merupakan suatu akad yang menjadikan suatu hukum yang asalnya haram menjadi halal, yakni kebolehannya bergaul antara seorang laki – laki dengan seorang wanita serta saling tolong – menolong diantara keduanya. Selama dalam ikatan pernikahan antara suami dan istri, terdapat suatu ketetapan dimana seorang laki – laki diharamkan menggauli istrinya. Salah satunya yakni, apabila terdapat suatu perceraian dalam rumah tangga tersebut.
Dengan semakin kompleksnya masalah yang ada dalam perkawinan. Maka yang perlu digaris bawahi bahwasanya permasalahan – permasalahan ini perlu dicermati lagi mengenai akar – akar permasalahanya. salah satunya permasalahan yang timbul dalam perkawinan yakni, mengenai Zhihar, Li’an, Ila dan sebagainya.
Berangkat dari asumsi tersebut, maka dalam makalah ini akan membahas mengenai Zhihar, Li’an, Ila beserta akibat hukum yang ditimbulkan dari masing – masing keadaan tersebut.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dengan fasakh?
B.     Apa yang dimaksud dengan li’an?
C.     Apa yang dimaksud dengan ila’?
D.    Apa yang dimaksud dengan dzhihar?

III.             PEMBAHASAN
A.    FASAKH
1.      Pengertian Fasakh
Fasakh artinya putus atau batal. Memfasakh akad nikah berarti memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri.
Secara etimologi, fasakh berasal dari bahasa arab yakni fasakha (فسخ) artinya rusak. (Mahmud Yunus, t.t.:312). Menurut Kamal Mukhtar, fasakh diartikan sebagai “mencabut” atau “menghapus” yang berarti perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat baik oleh suami maupun istri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup lagi mencapai tujuan rumah tangga bersama.
Fasakh bisa disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan pernikahan.
a.      Fasakh karena syarat-syarat ketika akad nikah tidak terpenuhi.
1.      Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan saudara sepupu atau saudara sesusuan pihak suami.
2.      Suami istri masih kecil, dan diadakan akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya dahulu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar baligh. Jika jalan yang dipilih adalah mengakhiri ikahtana suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
b.      Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad nikah.
1.      Bila salah seorang dari suami istri murtad  atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi pasca pernikahan.
2.      Jika suami yang sebelumnya kafir kemudian masuk Islam, tetapi Istri masih tetap dalam keadaan kafir, maka akadnya batal. Lain halnya bila istri seorang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinan dengan wanita ahli kitab itu dari semula dipandang sah.[1]
c.       Sebab-sebab terjadi fasakh
1.      Karena ada balak (penyakit belang kulit)
2.      Karena gila
3.      Karena canggu (penyakit kusta)
4.      Karena ada penyakit menular padanya, seperti sipilis, TBC, dan lain-lain.
5.      Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).
6.      Karena unah, yaitu zakar atau impoten (tidak hidup untuk jima’)[2]
7.      Hiperseks (nafsu seksual yang berlebihan). Dalam hal ini apabila hiperseks-nya menjadi penyebab salah satu pihak mengalami gangguan fisik dan membahayakan.
8.      Suami miskin. Apabila suami tidak memiliki kesanggupan untuk menafkahi keluarga, bahkan menimbulkan kesusahan dan penderitaan bagi keluarganya, pihak istri berhak melakukan fasakh.
9.      Karena suami hilang dan selama hilangnya tanpa informasi yang jelas.[3]

2.      Pelaksanaan Fasakh
Apabila penyebab fasakh bisa dibenarkan oleh syara’ dan jelas, maka tidak lagi memerlukan pengadilan untuk menetapkan fasakh. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, saudara sepersusuan, dan sebagainya.
Sebaliknya apabila terjadi hal-hal berikut ini, pelaksanaan fasakh adalah sebagai berikut:
a.       Jika suami tidak memberi nafkah yang disebabkan bukan karena kemiskinan, dan hakim memaksa untuk tetap menetapkan fasakh, maka harus diselesaikan oleh pihak yang berwenang, seperti qadi di Pengadilan Agama supaya yang berwenang dapat menyelesaikan sebagaimana mestinya.
b.      Setelah hakim melakukan perjanjian dengan suami sekurang-kurangnya tiga hari, sejak istri mengadu, apabila dalam batas waktu yang ditentukan suami tidak juga menyelesaikan permasalahan, barulah hakim mem-fasakh-kan nikahnya. Atau dia sendiri yang mem-fasakh-kan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.

Di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur masalah fasakh, yakni sebagai berikut:
1.      Seorang suami dan istri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pernikahan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
2.      Seorang suami dan isrti dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
3.      Apabila ancaman telah berhenti, atau bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Adapun yang berhak mengajukan permohonan pembatalan pernikahan adalah:
a.       Para keluarga dari garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari pihak suami atau istri.
b.      Suami atau istri.
c.       Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan pernikahan menurut undang-undang.
d.      Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat pernikahan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan hal-hal berikut ini:
a.       Permohonan pembatalan pernikahan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami istri, atau tempat pernikahan dilangsungkan.
b.      Batalnya suatu pernikahan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya pernikahan.

3.      Akibat Hukum Fasakh
Pisahnya suami istri yang disebabkan talak tentu dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak istrinya dengan talak raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya, atau melakukan akad baru setelah habis masa iddahnya, maka hal itu mengurangi satu bilangan talak., yang berarti masih memiliki kesempatan dua kali talak lagi.
Sedangkan pisahnya suami istri disebabkan oleh fasakh, berarti tidak akan mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh baligh, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga talak lagi.
Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ulama.
Imam Syafi’I mengatakan, “ Harus menunggu selama tiga hari.” Sedang Imam Malik berkata, “Harus menunggu selama satu bulan.” Lain lagi menurut Imam Hambali, “Harus mengunggu satu tahun.”
Hal demikian dimaksudkan selama masa tersebut laki-laki memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan akan mengambil jalan cerai atau memberikan nafkah bila istri tidak rela lagi.
Apabila istri rela menunggu, dan ia menerima dengan ada belanja dari suaminya, maka fasakh-pun batal sebab nafkah itu adalah haknya.
Bunyi lafal fasakh misalnya seperti ini: “Aku fasakhkan nikahmu dari suamimu yang bernama … bin … pada hari ini.
Apabila fasakh itu dilakukan oleh istri sendiri di muka Hakim, maka ia berkata: ”Aku fasakhkan nikahku dari suamiku yang bernama … bin … pada hari ini.” Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. kalau suami hendak kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagi dengan akad baru. Sedang iddahnya sebagai iddah talak biasa.[4]

B.     LI’AN
1.      Pengertian Li’an
Menurut bahasa Li’an berasal dari kata “La’ana”, yang artinya laknat, sebab suami istri pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat: “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat Allah, jika Ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.” Sedangkan menurut istilah syara’, li’an berarti sumpah seorang suami di muka hakim bahwa ia berkata benar tentang suatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa adanya saksi , kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut.
Menurut istilah hukum Islam, Li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang kelima disertai persyaratan bahwa sang suami bersedia untuk menerima laknat Allah apabila ia berdusta atas tuduhannya.
Dasar hukum pengaturan Li’an ini termaktub pada firman Allah surat An-Nuur ayat 6-7:  

Artinya: “dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta” (QS. An-Nuur: 6-7).
Kemudian terhadap tuduhan suami tersebut istri dapat menyangkalnya dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang kelima disertai pernyataan bahwa istri bersedia untuk menerima marah dari Allah jika suaminya memang benar dalam tuduhannya. Dengan terjadinya sumpah li’an ini maka terjadilah suatu perceraian antara suami istri tersebut dan keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selama-lamanya.[5]

2.      Penetapan Hukum Li’an
Apabila suami menuduh istrinya berbuat zina dan suami tetap bersikukuh tidak mau mencabut tuduhan itu, maka dalam firman-Nya surat An-Nuur ayat 6-9 Allah membolehkan kepada mereka untuk mengadakan li’an.
Tentang masa berlangsungnya hukum li’an, jumhur fuqaha berpendapat bahwa li’an berlangsung hingga berakhirnya masa mengandung terpanjang. Apabila istrinya yang dituduh hamil sesudah li’an, dalam hal ini ada dua pendapat yang diriwayatkan oleh imam Malik. Pertama, terlepasnya suami dari kandungan istri. Kedua, diperlihatkannya nasab anak kepada yang dikandung kepada suami.
Mengenai waktu untuk mengingkari kandungan jumhur Ulama berpendapat bahwa suami boleh mengingkarinya ketika istrinya itu hamil. Imam Malik mensyaratkan bahwa apabila suami tidak mengingkari kandungan pada masa kehamilan maka ia juga tidak boleh mengingkarinya sesudah kelahiran dengan sumpah li’annya.[6]

3.      Akibat Hukum Li’an
Akibat li’an suami timbul beberapa hukum yakni:
1.      Dia (suami) tidak disiksa atau didera.
2.      Si istri wajib disiksa atau didera dengan siksaan zina.
3.      Suami istri bercerai selama-lamanya. Jika ada anak, anak itu tidak dapat diakui oleh suami. Untuk melepaskan istri dari siksaaan zina, dia boleh meli’an suami itu. Maka li’an dibalas li’an.[7]

C.    ILA’
a.      Pengertian Ila’
Kata “Ila’” menurut bahasa merupakan masdar dari kata “ala-ykli-laan” sewazan dengan a’tha yu’thi itha’an, yang artinya sumpah. Menurut istilah Ila’ berarti sumpah suami untuk tidak mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tanpa menyebutkan jangka waktunya sekalipun. Sedangkan menurut hukum Islam ila’ ialah sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati kepada istrinya itu baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih.
Beberapa contoh ucapan ila’ diantaranya adalah:
1.      Demi Allah, saya tidak akan menggauli istriku.
2.      Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuri istriku selama lima bulan.
3.      Demi Allah, saya tidak akan mendekati istriku.

b.      Ketentuan Hukum Ila’
Dasar hukum pengaturan ila’ dalam firman Allah yakni surat Al-Baqarah ayat 226-227:
   
Artinya: “kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui..
Meng-ila’ istri maksudnya adalah bersumpah tidak akan mencampuri istri. Dengan sumpah tersebut, seorang wanita menderita karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan maka dengan turunnya ayat ini, suami setelah empat bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi istrinya lagi dengan membayar kifarat sumpah atau menceraikannya.

c.       Akibat Ila’
Allah SWT menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang meng-ila’ istrinya mengandung hikmah pengajaran bagi suami maupun bagi istri. Suami menyatakan ila’ kepada istrinya pastilah karena sesuatu kebencian yang timbul karena keduanya.
Bagi suami yang meng-ila’ istrinya kemudian diwajibkan untuk menjauhi istrinya selama empat bulan untuk menimbulkan kerinduan kepada istrinya serta menyesali sikapnya yang sudah lalu, memperbaiki diri sebagai bekal sikap yang sudah lalu.
Dalam hal ini, apabila seorang suami berbaik kembali kepada istrinya maka diwajibkan untuk membayar kafarah sumpah karena telah mempergunakan nama Allah untuk kepentingan dirinya. Kafarah sumpah itu berupa:
a.       Menjamu atau menjamin makanan bagi sepuluh orang miskin.
b.      Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin.
c.       Memerdekakan seorang budak.
Kalau tidak melakukan salah dari tiga hal tersebut maka kafarahnya adalah berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Setelah menunggu empat bulan kebencian hati suami tidak berubah atau terpengaruh atau melunak dan tetap tidak memperdulikan istrinya maka dengan itu suami dapat menjatuhkan talaknya.
Bagi istri yang di-ila’ oleh suaminya, pengucilan oleh suaminya itulah yang menjadi suatu pelajaran baginya. Yakni, memberi kesempatan memikirkan sikap non simpatiknya yang telah lalu, menyadari kekurangannya dalam melayani suami selama ini. [8]

D.    DZIHAR
a.      Pengertian Dzihar
Zihar ialah seorang laki – laki yang mengidentikkan istrinya dengan ibu kandungnya., sehingga istrinya haram untuk digaulinya. Sedang, menurut bahasa arab zihar terambil dari kata zahrun yang bermakana punggung. Dalam kaitanya dengan hubungan suami istri, zihar berarti ucapan seorang suami kepada istrinyayang isinya berupa menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami., seperti ucapan suami kepada istrinya : “ Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku. “
Ucapan Zihar ini di masa jahiliyah dipergunakan oleh suami yang hendak bermaksud untuk mengharamkan menyetubuhi istrinya dan berakibat menjadi haramnya istri itu.

b.      Ketentuan Hukum Dzihar
Dasar hukum mengenai pengaturan Zihar ini terdapat dalam surah Al-Mujadilah ayat 2-4 dan surah Al-Ahzab ayat 4.
    
Artinya: “orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. Al-Mujaadilah:2-4)
    
Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab:4)

Adapun yang menjadi sebab turunya ayat zhihar ini ialah kasus persoalan wanita yang bernama khaula binti Tsa’labah yang dizihar oleh suaminya yakni Aus bin Shomit, yaitu dengan mengatakan kepada istrinya: ” Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku. “, dengan maksud ia tak boleh menggauli istri sebagaimana ia tak boleh untuk menggauli ibunya. Menurut zaman jahiliyah kalimat zihar seperti sudah sama dengan mentalak istri. Kemudian khaulah mengadukan halnya kepada Rasulullah dan beliau menjawab bahwa dalam hal ini belum ada suatu keputusan Allah. Selanjutnya, pada riwayat lain, Rasulullah mengatakan  : Engkau telah diharamkan bersetubuh denganya.” Lalu kemudian Khaulah berkata “suamiku belum menyebut kata-kata talak” berulangkali khaulah meendesak Rasulullah SAW supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat 1 Al-Mujadilah dan ayat-ayat berikutnya, yakni surah Al-Ahzab ayat 4.
Dari hukum-hukum tersebut maka dapat dikatakan bahwa zihar merupakan ucapan kasar yang dilontarkan oleh suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami sehingga dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istribagi suaminya.

c.       Akibat Dzihar
Syari’at islam dating untuk memperbaiki masyarakat dan mendidiknya dan mensterilkannya menuju suatu kemaslahatan. Hidup. Hukum Islam menjadikan ucapan zihar itu berakibat hokum yang bersifat ukhrawi dan duniawi. Akibat hokum zhihar yang bersifat duniawi adalah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang dizhihar sampai suami melaksanakan kaffarah zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulangi perkataan dan sikapnya yang buruk tersebut. Sedang yang bersifat ukhrawi adalah bahwa zhihar adalah perbuatan dosa, orang yang mengucapkan kata Zhuhar tersebut berarti berdosa, dan untuk membersihkanya maka wajib untuk bertaubat dan memohon ampunan Allah.
Adapun kifarat yang wajib dilaksanakan bagi suami yang melakukan zihar adalah[9] :
a.       Memerdekakan hamba sahaya.
b.      Kalau tidak dapat memerdekakan hamba sahaya, puasa dua bulan berturut-turut.
c.       Kalau tidak kuat puasa, memberi makan 60 orang miskin, tiap-tiap orang (3 /4 liter ).
Tingkatan ini harus dilakukan secara berurutan sebagaimana tersebut diatas. Ini berarti yang wajib dijalankan adalah yang pertama, jika yang pertama belum dapat untuk dijalankan, pihak suami dapat menempuh jalan yang kedua  begitu juga apabila suami tidak dapat menempuh  jalan  yang kedua, maka ia boleh menempuh jalan yang ketiga.

IV.             KESIMPULAN
Dari uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa dalam suatu pernikahan terdapat hal-hal yang dapat suami istri dapat berpisah, menurut Syari’ah ada beberapa sebab mengenai permasalahan ini. Diantaranya adalah fasakh, Fasakh bisa disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan pernikahan.

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah ini, apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan makalah, kami mohon maaf. kami sebagai pemakalah meminta saran atau masukan demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, baik dalam pembelajaran ilmu pengetahuan, agama, maupun kehidupan. Amin..


DAFTAR PUTAKA

Abidin, Slamet, and Aminuddin. Fiqih Munakahat II. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Ahmad Saebani, Beni. Fiqh Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Rahman Ghozali, Abdul. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.
Sabiq, Sayyid. Usul Fikih Juz 8. Bandung: Al-Ma’arif, 1990.




[1] Sayyid Sabiq, Usul Fikih Juz 8 (Bandung: Al-Ma’arif, 1990)., hlm. 125
[2] Slamet Abidin and Aminuddin, Fiqih Munakahat II (Bandung: Pustaka Setia, 1999)., hlm. 74-77
[3] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, 2010)., hlm. 106-107
[4] Abidin and Aminuddin, Fiqih Munakahat II., hlm. 82-83
[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003)., hlm. 238-239
[6] Abidin and Aminuddin, Fiqih Munakahat II., hlm. 106-108
[7] Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2., hlm. 134
[8] Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat., hlm. 234-237
[9] Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2., hlm. 133

1 komentar:

  1. terima kasih kakak atas postingannya, sangat membantu banget buat aku untuk menyelesaikan tugas kuliah

    BalasHapus