I.
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam
masyarakat yang sangat berperan dominan terhadap perkembangan sosial Keluarga
dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak merupakan suatu kesatuan yang kuat, apabila terdapat hubungan yang
baik antara sesamanya. dimana hubungan yang baik ini ditandai dengan adanya keserasian
serta keharmonisan dalam hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam
keluarga tersebut. Keserasian dan keharmonisan inilah yang merupakan salah satu
faktor suatu keluarga dapat dikatakan bahagia atau tidak bahagia.
Pernikahan
merupakan suatu akad yang menjadikan suatu hukum yang asalnya haram menjadi
halal, yakni kebolehannya bergaul antara seorang laki – laki dengan seorang
wanita serta saling tolong – menolong diantara keduanya. Selama dalam ikatan pernikahan
antara suami dan istri, terdapat suatu ketetapan dimana seorang laki – laki
diharamkan menggauli istrinya. Salah satunya yakni, apabila terdapat suatu
perceraian dalam rumah tangga tersebut.
Dengan
semakin kompleksnya masalah yang ada dalam perkawinan. Maka yang perlu digaris bawahi
bahwasanya permasalahan – permasalahan ini perlu dicermati lagi mengenai akar –
akar permasalahanya. salah satunya permasalahan yang timbul dalam perkawinan
yakni, mengenai Zhihar, Li’an, Ila dan sebagainya.
Berangkat
dari asumsi tersebut, maka dalam makalah ini akan membahas mengenai Zhihar,
Li’an, Ila beserta akibat hukum yang ditimbulkan dari masing – masing keadaan
tersebut.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa yang
dimaksud dengan fasakh?
B.
Apa yang
dimaksud dengan li’an?
C.
Apa yang
dimaksud dengan ila’?
D.
Apa yang
dimaksud dengan dzhihar?
III.
PEMBAHASAN
A.
FASAKH
1.
Pengertian
Fasakh
Fasakh artinya putus
atau batal. Memfasakh akad nikah berarti memutuskan atau membatalkan ikatan
hubungan antara suami dan istri.
Secara etimologi, fasakh berasal
dari bahasa arab yakni fasakha (فسخ)
artinya rusak. (Mahmud Yunus, t.t.:312). Menurut Kamal Mukhtar, fasakh diartikan
sebagai “mencabut” atau “menghapus” yang berarti perceraian yang disebabkan
oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat baik oleh suami maupun istri atau
keduanya sehingga mereka tidak sanggup lagi mencapai tujuan rumah tangga
bersama.
Fasakh bisa disebabkan
karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau
karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan
pernikahan.
a.
Fasakh
karena syarat-syarat ketika akad nikah tidak terpenuhi.
1.
Setelah akad
nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan saudara sepupu atau saudara
sesusuan pihak suami.
2.
Suami istri
masih kecil, dan diadakan akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian
setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya dahulu atau
mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar baligh. Jika jalan
yang dipilih adalah mengakhiri ikahtana suami istri, maka hal ini disebut fasakh
baligh.
b.
Fasakh
karena hal-hal yang datang setelah akad nikah.
1.
Bila salah
seorang dari suami istri murtad atau
keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh)
karena kemurtadan yang terjadi pasca pernikahan.
2.
Jika suami yang
sebelumnya kafir kemudian masuk Islam, tetapi Istri masih tetap dalam keadaan
kafir, maka akadnya batal. Lain halnya bila istri seorang ahli kitab, maka
akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinan dengan wanita ahli kitab itu
dari semula dipandang sah.
c.
Sebab-sebab
terjadi fasakh
1.
Karena ada balak
(penyakit belang kulit)
2.
Karena gila
3.
Karena canggu
(penyakit kusta)
4.
Karena ada
penyakit menular padanya, seperti sipilis, TBC, dan lain-lain.
5.
Karena ada
daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan
(bersetubuh).
6.
Karena unah,
yaitu zakar atau impoten (tidak hidup untuk jima’)
7.
Hiperseks (nafsu
seksual yang berlebihan). Dalam hal ini apabila hiperseks-nya menjadi
penyebab salah satu pihak mengalami gangguan fisik dan membahayakan.
8.
Suami miskin.
Apabila suami tidak memiliki kesanggupan untuk menafkahi keluarga, bahkan
menimbulkan kesusahan dan penderitaan bagi keluarganya, pihak istri berhak
melakukan fasakh.
9.
Karena suami
hilang dan selama hilangnya tanpa informasi yang jelas.
2.
Pelaksanaan
Fasakh
Apabila penyebab fasakh bisa
dibenarkan oleh syara’ dan jelas, maka tidak lagi memerlukan pengadilan untuk
menetapkan fasakh. Misalnya, terbukti bahwa suami istri masih saudara
kandung, saudara sepersusuan, dan sebagainya.
Sebaliknya apabila terjadi hal-hal
berikut ini, pelaksanaan fasakh adalah sebagai berikut:
a.
Jika suami tidak
memberi nafkah yang disebabkan bukan karena kemiskinan, dan hakim memaksa untuk
tetap menetapkan fasakh, maka harus diselesaikan oleh pihak yang
berwenang, seperti qadi di Pengadilan Agama supaya yang berwenang dapat
menyelesaikan sebagaimana mestinya.
b.
Setelah hakim
melakukan perjanjian dengan suami sekurang-kurangnya tiga hari, sejak istri
mengadu, apabila dalam batas waktu yang ditentukan suami tidak juga
menyelesaikan permasalahan, barulah hakim mem-fasakh-kan nikahnya. Atau
dia sendiri yang mem-fasakh-kan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.
Di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam
(KHI) juga mengatur masalah fasakh, yakni sebagai berikut:
1.
Seorang suami
dan istri dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pernikahan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
2.
Seorang suami
dan isrti dapat mengajukan permohonan pembatalan pernikahan apabila pada waktu
berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri
suami atau istri.
3.
Apabila ancaman
telah berhenti, atau bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka
waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak
menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Adapun yang berhak mengajukan permohonan
pembatalan pernikahan adalah:
a.
Para keluarga
dari garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari pihak suami atau istri.
b.
Suami atau
istri.
c.
Pejabat yang
berwenang mengawasi pelaksanaan pernikahan menurut undang-undang.
d.
Para pihak yang
berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat pernikahan
menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga
menjelaskan hal-hal berikut ini:
a.
Permohonan
pembatalan pernikahan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal suami istri, atau tempat pernikahan dilangsungkan.
b.
Batalnya suatu
pernikahan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya pernikahan.
3.
Akibat
Hukum Fasakh
Pisahnya suami istri yang disebabkan
talak tentu dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak
istrinya dengan talak raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya, atau
melakukan akad baru setelah habis masa iddahnya, maka hal itu mengurangi satu
bilangan talak., yang berarti masih memiliki kesempatan dua kali talak lagi.
Sedangkan pisahnya suami istri
disebabkan oleh fasakh, berarti tidak akan mengurangi bilangan talak,
meskipun terjadinya fasakh baligh, kemudian kedua suami istri tersebut
menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga talak
lagi.
Mengenai masa pelaksanaan fasakh,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ulama.
Imam Syafi’I mengatakan, “ Harus
menunggu selama tiga hari.” Sedang Imam Malik berkata, “Harus menunggu selama
satu bulan.” Lain lagi menurut Imam Hambali, “Harus mengunggu satu tahun.”
Hal demikian dimaksudkan selama masa tersebut
laki-laki memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan akan mengambil jalan
cerai atau memberikan nafkah bila istri tidak rela lagi.
Apabila istri rela menunggu, dan ia
menerima dengan ada belanja dari suaminya, maka fasakh-pun batal sebab
nafkah itu adalah haknya.
Bunyi lafal fasakh misalnya
seperti ini: “Aku fasakhkan nikahmu dari suamimu yang bernama … bin … pada
hari ini.”
Apabila fasakh itu dilakukan oleh
istri sendiri di muka Hakim, maka ia berkata: ”Aku fasakhkan nikahku dari
suamiku yang bernama … bin … pada hari ini.” Setelah fasakh itu
dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. kalau suami
hendak kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagi dengan akad baru. Sedang
iddahnya sebagai iddah talak biasa.
B.
LI’AN
1.
Pengertian
Li’an
Menurut bahasa Li’an berasal dari kata “La’ana”,
yang artinya laknat, sebab suami istri pada ucapan kelima saling bermula’anah
dengan kalimat: “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat Allah, jika Ia
tergolong orang yang telah berbuat dosa.” Sedangkan menurut istilah syara’,
li’an berarti sumpah seorang suami di muka hakim bahwa ia berkata benar tentang
suatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami
menuduh istrinya berbuat zina tanpa adanya saksi , kemudian keduanya bersumpah
atas tuduhan tersebut.
Menurut istilah hukum Islam, Li’an ialah
sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan
empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya,
kemudian pada sumpah kesaksian yang kelima disertai persyaratan bahwa sang
suami bersedia untuk menerima laknat Allah apabila ia berdusta atas tuduhannya.
Dasar hukum pengaturan Li’an ini
termaktub pada firman Allah surat An-Nuur ayat 6-7:
Artinya: “dan orang-orang yang
menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang
benar. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk
orang-orang yang berdusta” (QS. An-Nuur: 6-7).
Kemudian terhadap
tuduhan suami tersebut istri dapat menyangkalnya dengan sumpah kesaksian
sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya, kemudian pada
sumpah kesaksian yang kelima disertai pernyataan bahwa istri bersedia untuk
menerima marah dari Allah jika suaminya memang benar dalam tuduhannya. Dengan
terjadinya sumpah li’an ini maka terjadilah suatu perceraian antara suami istri
tersebut dan keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk
selama-lamanya.
2. Penetapan Hukum Li’an
Apabila suami menuduh
istrinya berbuat zina dan suami tetap bersikukuh tidak mau mencabut tuduhan
itu, maka dalam firman-Nya surat An-Nuur ayat 6-9 Allah membolehkan kepada
mereka untuk mengadakan li’an.
Tentang masa
berlangsungnya hukum li’an, jumhur fuqaha berpendapat bahwa li’an berlangsung
hingga berakhirnya masa mengandung terpanjang. Apabila istrinya yang dituduh
hamil sesudah li’an, dalam hal ini ada dua pendapat yang diriwayatkan oleh imam
Malik. Pertama, terlepasnya suami dari kandungan istri. Kedua, diperlihatkannya
nasab anak kepada yang dikandung kepada suami.
Mengenai waktu untuk
mengingkari kandungan jumhur Ulama berpendapat bahwa suami boleh mengingkarinya
ketika istrinya itu hamil. Imam Malik mensyaratkan bahwa apabila suami tidak
mengingkari kandungan pada masa kehamilan maka ia juga tidak boleh
mengingkarinya sesudah kelahiran dengan sumpah li’annya.
3.
Akibat
Hukum Li’an
Akibat li’an suami timbul beberapa hukum
yakni:
1.
Dia (suami)
tidak disiksa atau didera.
2.
Si istri wajib
disiksa atau didera dengan siksaan zina.
3.
Suami istri
bercerai selama-lamanya. Jika ada anak, anak itu tidak dapat diakui oleh suami.
Untuk melepaskan istri dari siksaaan zina, dia boleh meli’an suami itu. Maka
li’an dibalas li’an.
C.
ILA’
a.
Pengertian
Ila’
Kata “Ila’” menurut bahasa merupakan
masdar dari kata “ala-ykli-laan” sewazan dengan a’tha yu’thi itha’an, yang
artinya sumpah. Menurut istilah Ila’ berarti sumpah suami untuk tidak
mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tanpa menyebutkan
jangka waktunya sekalipun. Sedangkan menurut hukum Islam ila’ ialah sumpah
suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya
untuk tidak mendekati kepada istrinya itu baik secara mutlak maupun dibatasi
dengan ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih.
Beberapa contoh ucapan ila’ diantaranya
adalah:
1.
Demi Allah, saya
tidak akan menggauli istriku.
2.
Demi kekuasaan
Allah, saya tidak akan mencampuri istriku selama lima bulan.
3.
Demi Allah, saya
tidak akan mendekati istriku.
b.
Ketentuan
Hukum Ila’
Dasar hukum pengaturan ila’ dalam firman
Allah yakni surat Al-Baqarah ayat 226-227:
Artinya: “kepada orang-orang yang
meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka
kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”.
Meng-ila’ istri
maksudnya adalah bersumpah tidak akan mencampuri istri. Dengan sumpah tersebut,
seorang wanita menderita karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan maka
dengan turunnya ayat ini, suami setelah empat bulan harus memilih antara
kembali menyetubuhi istrinya lagi dengan membayar kifarat sumpah atau
menceraikannya.
c.
Akibat
Ila’
Allah SWT menentukan batas waktu empat
bulan bagi suami yang meng-ila’ istrinya mengandung hikmah pengajaran
bagi suami maupun bagi istri. Suami menyatakan ila’ kepada istrinya
pastilah karena sesuatu kebencian yang timbul karena keduanya.
Bagi suami yang meng-ila’
istrinya kemudian diwajibkan untuk menjauhi istrinya selama empat bulan untuk
menimbulkan kerinduan kepada istrinya serta menyesali sikapnya yang sudah lalu,
memperbaiki diri sebagai bekal sikap yang sudah lalu.
Dalam hal ini, apabila seorang suami
berbaik kembali kepada istrinya maka diwajibkan untuk membayar kafarah sumpah
karena telah mempergunakan nama Allah untuk kepentingan dirinya. Kafarah sumpah
itu berupa:
a.
Menjamu atau
menjamin makanan bagi sepuluh orang miskin.
b.
Memberi pakaian
kepada sepuluh orang miskin.
c.
Memerdekakan
seorang budak.
Kalau tidak melakukan salah dari tiga hal tersebut
maka kafarahnya adalah berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Setelah
menunggu empat bulan kebencian hati suami tidak berubah atau terpengaruh atau
melunak dan tetap tidak memperdulikan istrinya maka dengan itu suami dapat
menjatuhkan talaknya.
Bagi istri yang di-ila’ oleh suaminya,
pengucilan oleh suaminya itulah yang menjadi suatu pelajaran baginya. Yakni,
memberi kesempatan memikirkan sikap non simpatiknya yang telah lalu, menyadari
kekurangannya dalam melayani suami selama ini.
D.
DZIHAR
a.
Pengertian
Dzihar
Zihar ialah seorang laki – laki yang
mengidentikkan istrinya dengan ibu kandungnya., sehingga istrinya haram untuk
digaulinya. Sedang, menurut bahasa arab zihar terambil dari kata zahrun yang
bermakana punggung. Dalam kaitanya dengan hubungan suami istri, zihar berarti
ucapan seorang suami kepada istrinyayang isinya berupa menyerupakan punggung
istri dengan punggung ibu suami., seperti ucapan suami kepada istrinya : “
Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku. “
Ucapan Zihar ini di masa jahiliyah
dipergunakan oleh suami yang hendak bermaksud untuk mengharamkan menyetubuhi
istrinya dan berakibat menjadi haramnya istri itu.
b.
Ketentuan
Hukum Dzihar
Dasar hukum mengenai pengaturan Zihar
ini terdapat dalam surah Al-Mujadilah ayat 2-4 dan surah Al-Ahzab ayat 4.
Artinya: “orang-orang yang menzhihar
isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal)
Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah
wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS.
Al-Mujaadilah:2-4)
Artinya: “Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian
itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab:4)
Adapun yang menjadi sebab turunya ayat
zhihar ini ialah kasus persoalan wanita yang bernama khaula binti Tsa’labah
yang dizihar oleh suaminya yakni Aus bin Shomit, yaitu dengan mengatakan kepada
istrinya: ” Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku. “, dengan maksud ia tak
boleh menggauli istri sebagaimana ia tak boleh untuk menggauli ibunya. Menurut
zaman jahiliyah kalimat zihar seperti sudah sama dengan mentalak istri.
Kemudian khaulah mengadukan halnya kepada Rasulullah dan beliau menjawab bahwa
dalam hal ini belum ada suatu keputusan Allah. Selanjutnya, pada riwayat lain,
Rasulullah mengatakan : Engkau telah
diharamkan bersetubuh denganya.” Lalu kemudian Khaulah berkata “suamiku belum
menyebut kata-kata talak” berulangkali khaulah meendesak Rasulullah SAW supaya
menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat 1 Al-Mujadilah
dan ayat-ayat berikutnya, yakni surah Al-Ahzab ayat 4.
Dari hukum-hukum tersebut maka dapat
dikatakan bahwa zihar merupakan ucapan kasar yang dilontarkan oleh suami kepada
istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami sehingga
dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istribagi suaminya.
c.
Akibat
Dzihar
Syari’at islam
dating untuk memperbaiki masyarakat dan mendidiknya dan mensterilkannya menuju
suatu kemaslahatan. Hidup. Hukum Islam menjadikan ucapan zihar itu berakibat hokum
yang bersifat ukhrawi dan duniawi. Akibat hokum zhihar yang bersifat duniawi
adalah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang dizhihar sampai suami
melaksanakan kaffarah zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulangi
perkataan dan sikapnya yang buruk tersebut. Sedang yang bersifat ukhrawi adalah
bahwa zhihar adalah perbuatan dosa, orang yang mengucapkan kata Zhuhar tersebut
berarti berdosa, dan untuk membersihkanya maka wajib untuk bertaubat dan
memohon ampunan Allah.
Adapun kifarat
yang wajib dilaksanakan bagi suami yang melakukan zihar adalah
:
a. Memerdekakan hamba sahaya.
b. Kalau tidak dapat memerdekakan hamba sahaya, puasa
dua bulan berturut-turut.
c. Kalau tidak kuat puasa, memberi makan 60 orang
miskin, tiap-tiap orang (3 /4 liter ).
Tingkatan ini
harus dilakukan secara berurutan sebagaimana tersebut diatas. Ini berarti yang
wajib dijalankan adalah yang pertama, jika yang pertama belum dapat untuk
dijalankan, pihak suami dapat menempuh jalan yang kedua begitu juga apabila suami tidak dapat
menempuh jalan yang kedua, maka ia boleh menempuh jalan yang
ketiga.
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa dalam suatu
pernikahan terdapat hal-hal yang dapat suami istri dapat berpisah, menurut
Syari’ah ada beberapa sebab mengenai permasalahan ini. Diantaranya adalah
fasakh, Fasakh bisa disebabkan karena
tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena
hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan pernikahan.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini, apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan
makalah, kami mohon maaf. kami sebagai pemakalah meminta saran atau masukan
demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua, baik dalam pembelajaran ilmu pengetahuan, agama, maupun kehidupan.
Amin..
DAFTAR PUTAKA
Abidin, Slamet, and Aminuddin. Fiqih Munakahat II.
Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Ahmad Saebani, Beni. Fiqh Munakahat 2.
Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Rahman Ghozali, Abdul. Fiqh Munakahat.
Jakarta: Kencana, 2003.
Sabiq, Sayyid. Usul Fikih Juz 8. Bandung:
Al-Ma’arif, 1990.