Selasa, 29 September 2015

Sejarah Singkat Bank Syariah di Indonesia

Sejarah mengatakan Bank Syariah  berdiri pertama kali di Indonesia pada tahun 1992. Setelah mengalami perjuangan panjang selama 19 tahun yakni sejak tahun 1973, pada akhirnya berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum yang berprinsip syariah.  Pendirian Bank Syariah mendasar pada UU Nomor 7  tahun 1992.  Kemudian juga didukung dengan UU Nomor 10 tahun 1998 yang secara tegas mengakui keberadaan bank syariah.
Berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) berhasil menjadi bank pelopor yang mengajak bank umum lain untuk mendirikan bank syariah.  Ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada pertengahan 1997, mulai bermunculan bank-bank sayariah seperti Bank  Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank IFI Syariah dan sejumlah BPR Syariah. Bank Syariah di Indonesia berkembang cukup pesat hingga tercatat 79 BPRS dan empat bank umum syariah di akhir tahun 2000.




Ref: Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam (Surakarta: Muhammadiyah University Press). 2006, hlm. 12

Jumat, 26 Juni 2015

HUKUM DAN KEDUDUKAN SEWA BELI

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Mauamalah 2
Dosen Pengampu: Mahsun M.Ag






Disusun Oleh:
Inayah Sholihah          (132311132)
Fitri Yanti                   (132311156)


PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH  
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

2015




I.           PENDAHULUAN
Dewasa ini, kajian dan pembicaraan ekonomi Islam telah merebak ke seluruh atmosfir bumi tercinta ini. Didukung pula oleh kegairahan dan semangat beragama masyarakat yang mulai menonjol. Berdasarkan tuntutan zaman, maka banyak bermunculan ragam dan bentuk muamalah dengan berbagai cara dan coraknya. Diantaranya penulis sebutkan adalah sewa beli atau dikenal juga dengan istilah leasing. Sewa beli juga telah menarik perhatian para ekonom muslim untuk dikaji lebih mendalam, sehingga istilah leasing juga dikenalkan oleh lembaga keuangan syariah dengan istilah Ijaarah Muntahia Bi Al-Tamlik (IMBT).
Dalam kesempatan ini, penulis akan mengurai pembahasan mengenai sewa beli. Pembahasan sewa beli ini lebih menitik beratkan pada hukum dan kedudukan dari sewa beli. Penulis juga akan menambahkan rujukan dari fatwa Dewan Syariah Nasional perihal IMBT.

II.         RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik?
B.     Bagaimana hukum dan kedudukan Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik?

III.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik
Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik adalah praktek muamalah dengan bentuk sewa yang kemudian diakhiri dengan penyerahan status kepemilikan barang kepada penyewa. Transaksi ini merupakan perpaduan atas kontrak sewa dan jual beli.[1] Pengertian sewa beli berdasarkan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.[2]
Proses pelaksanaan sewa bermula pada akad sewa, kemudian apabila penyewa berkeinginan melanjutkan pada akad beli, maka demikian yang dinamakan sewa beli. Akan tetapi apabila penyewa memutuskan untuk berhenti pada tahap sewa saja, maka hal itu merupakan akad sewa saja bukan sewa beli. Adapun mengenai tempo masa ijarah dikembalikan pada kesepakatan kedua belah pihak.  Dan syarat dan rukun sewa (ijarah) sama halnya dengan syarat dan rukun sewa biasa atau sebagaimana yang telah ditentukan dalam fatwa DSN.
Selain istilah Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik (IMBT), sewa beli juga disebut al-Ijarah thumma al-bai’ (AITAB). AITAB lebih populer di negara Malaysia, sebagaimana diterapkan juga oleh Institusi perbankan Islam di Malaysia.[3] Lebih lanjut, Lembaga Majelis Penasihat Syariah (MPS) Malaysia membuat putusan sebagai berikut: “MPS pada mesyuarat pertama bertarikh 8 julai 1997 dan mesyuarat ke-36 bertarikh 26 Jun 2003 telah memutuskan bahawa penggunaan konsep AITAB adalah dibenarkan, ....”.[4]

B.     Hukum dan Kedudukan Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik
IMBT terikat oleh dua akad yakni sewa kemudian jual beli. Padahal dua akad tersebut memiliki karakter yang berbeda. Secara implisit nampaknya sulit dipersatukan. Akad sewa yakni pelimpahan manfaat atas suatu benda yang sifatnya sementara, sedang akad jual beli bertujuan untuk pengalihan kepemilikan yang sifatnya selamanya. Sebagai ekonom muslim, tentu timbul kekhawatiran akan praktek IMBT yang tidak sesuai syariat. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis:
نهى رسو ل الله عليه و سلم عن صفقتين في صفقة واحدة
Rasululllah saw melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu objek.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Mas’ud).
Dari hadis diatas, jelas bahwasannya dalam satu objek transaksi tidak bisa digabungkan dengan dua akad. Lalu bagaimana hukum dari sewa beli?. Sewa beli perlu ditinjau lebih mendalam. Apabila melihat hukum asal dari muamalah maka hukumnya mubah (boleh). Sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqh:
الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Selain kaidah fiqh di atas, juga terdapat dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi saw bersabda:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو احل حراما و المسلمين على شروطهم إلا شرط حرم حلالا أو أحل حراما
Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.”
Kendati hukumnya boleh, kita harus mempertimbangkan beberapa hal agar IMBT tidak terikat oleh dua akad sekaligus secara bersamaan. Menimbang sewa beli sebagai salah satu kebutuhan masyarakat, maka Dewan Syariah Nasional juga memandang perlu menetapkan fatwa tentang sewa beli yang sesuai dengan syari’ah. Diharapkan fatwa mengenai akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik tersebut bisa dijadikan pedoman agar dalam pelaksanaanya tidak melanggar tuntunan Islam. Fatwa DSN tentang IMBT dibagi dalam dua aspek, yakni ketentuan umum dan ketentuan tentang al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik.
1.      Ketentuan Umum
Akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik.
b.      Perjanjian untuk melakukan akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
c.       Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
2.      Ketentuan tentang al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik:
a.       Pihak yang melakukan al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
b.      Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa’d (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.[5]
Dari fatwa di atas maka akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus dilaksanakan secara bertahap, yakni ada pemisahan antara akad sewa dan jual beli. Akad Ijarah harus lebih dulu diselesaikan, kemudian pihak penyewa boleh melanjutkan dengan transaksi jual beli.
Selain fatwa dari DSN, para Ulama yang tergabung dalam Majlis Majma’ al-Fiqh al-Islami internasional yang merupakan bagian dari Munâzhamah al-Mu’tamar al-Islami (OKI) dalam daurahnya yang ke-12 di kota Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia menjelaskan kreteria IMBT yang tidak melanggar syariat. Mereka melakukan muktamar dengan melihat makalah-makalah yang disampaikan kepada al-Majma’ berkenaan dengan masalah sewa yang berakhir dengan pemilikan (al-ijâr al-muntahi bit tamlîk) . Juga setelah mendengar diskusi yang berkisar masalah ini dengan peran serta para anggota al-majma’ dan para pakarnya serta sejumlah ahli fikih, menetapkan kriterianya, yaitu:
Pertama: ketentuan bentuk-bentuk yang terlarang adalah adanya dua transaksi yang berbeda dalam satu waktu pada satu barang.
Kedua: Ketentuan bentuk-bentuk yang diperbolehkan:
a.       Adanya dua transaksi yang terpisah dari sisi waktu, masing-masing berdiri sendiri. Dalam bentuk ini, transaksi jual beli dipermanenkan setelah transaksi ijarah (sewa menyewa) atau adanya janji kepemilikan di akhir masa sewa dan hak khiyar (hak pilih) setara dengan janji tersebut dalam hukum.
b.      Sewa menyewa tersebut benar-benar ada (fi’liyyah/real) bukan sebagai kamuflase (sâtirah) jual beli.
1.      Jaminan (dhamân) barang yang disewakan adalah tanggung jawab pemilik, bukan pada penyewa. Dengan demikian penyewa tidak memikul beban semua yang menimpa barang yang bukan disebabkan oleh kesengajaan atau keteledoran penyewa. Penyewa tidak diwajibkan sama sekali apabila manfaat barang hilang.
2.      Apabila transaksi mengandung asuransi barang sewaan, maka asuransinya wajib berbentuk ta’âwuni syariat bukan konvensional dan yang bertanggung jawab untuk membayar adalah pemilik atau yang memberikan sewaan (al-mu`jir) bukan orang yang menyewanya (al-musta`jir).
3.      Diwajibkan penerapan hukum-hukum sewa menyewa selama masa penyewaan pada transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan dan penerapan hukum-hukum jual beli ketika pemilikan barang tersebut.
4.      Nafkah pemeliharaan yang tidak menyangkut operasional tanggung jawab pemberi sewaan (al-mu`jir) bukan kepada penyewa (al-musta`jir) selama masa penyewaan.[6]

IV.             KESIMPULAN
Ijarah Muntahia bi Al-Tamlik adalah praktek muamalah dengan bentuk sewa yang kemudian diakhiri dengan penyerahan status kepemilikan barang kepada penyewa. Dasar hukum sewa beli terdapat pada Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi saw bersabda:
الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا أو احل حراما و المسلمين على شروطهم إلا شرط حرم حلالا أو أحل حراما
Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.”
Akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik harus dilaksanakan secara bertahap, yakni ada pemisahan antara akad sewa dan jual beli. Akad Ijarah harus lebih dulu diselesaikan, kemudian pihak penyewa boleh melanjutkan dengan transaksi jual beli.

V.         PENUTUP
Demikian makalah yang bisa kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran akan sangat membantu kami sebagai pertimbangan dan perbaikan dalam penulisan makalah kami selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wallahu ‘alam bis shawwab.





DAFTAR PUSTAKA

Bin Muahamma al-’Umrani, Abdullah. Kitab Al-‘Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah. Daar Kunuuz Isybiliya, 1428.
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid I. Ciputat: Gaung Persada, 2006.
Nurfarhana, and Abdul Ghaffar. Kadar Sewaan Dalam Instrumen Pembiyaan Bagi Kontrak Ijarah Di Perbankan Islam, Prosiding PERKEM VIII, Jilid I. ISSN: 2231-962X. Pusat Pengajian Ekonomi, Universitas Kebangsaan Malaysia, 2013.
Sutardi, Tatang. Ijarah: Aplikasi Pada Lembaga Keuangan Syariah. Tanah Grogot, n.d.




[1] Abdullah bin Muahamma al-’Umrani, Kitab Al-‘Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah (Daar Kunuuz Isybiliya, 1428)., hlm. 193-227
[2] Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid I (Ciputat: Gaung Persada, 2006)., hlm. 160
[3] Tatang Sutardi, Ijarah: Aplikasi Pada Lembaga Keuangan Syariah (Tanah Grogot, n.d.).
[4] Nurfarhana and Abdul Ghaffar, Kadar Sewaan Dalam Instrumen Pembiyaan Bagi Kontrak Ijarah Di Perbankan Islam, Prosiding PERKEM VIII, Jilid I, ISSN: 2231-962X (Pusat Pengajian Ekonomi, Universitas Kebangsaan Malaysia, 2013).
[5] Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid I., hlm. 163-164
[6] bin Muahamma al-’Umrani, Kitab Al-‘Uquud Al-Maaliyah Al-Murakkabah.

Rabu, 17 Juni 2015

IMAM AL-SYAFI’I

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu: Supangat, M.Ag




Disusun Oleh:
Siti Syafaatun N.        (132311129)
Dani Widyowati         (132311130)
Inayah Sholihah          (132311132)


PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.                   PENDAHULUAN
Dalam perkembangan tasyri’, kodifikasi fiqh terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah. Kodifikasi fiqh melalui metode ilmiah yang tersusun secara sistematis dan komprehensif. Dikatakan karya ilmiah karena didalamnya disajikan berbagai argument, kasual-kausal (‘illat), dan disertai konsep-konsep dasar yang dijadikan pedoman perumusannya. Karya pertama yang diluncurkan adalah karya Abu Hanifah dengan judul “al-Ashl”.
Perkembangan fiqh pada era Dinasti Abbasiyah sangat pesat, diantaranya dipengaruhi oleh munculnya madzhab-madzhab baru yang merupakan kelanjutan pada masa Dinasti Umayyah. Madzhab-madzhab yang muncul diantaranya adalah Madzhab Ja’fari, Madzhab Hanafi, Madzhab al-Auza’I, Madzhab al-Laitsi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’I, Madzhab Hanbali, dan Madzhab al-Dhahiri.
Pada pembahasan makalah ini, penulis menguraikan secara khusus mengenai Madzhab Syafi’i. Salah satu karya al-Syafi’i adalah al-Umm (buku induk), buku ini yang menjadi rujukan fiqh madzhab Syafi’i. Madzhab Syafi’i berkembang pesat hingga tersebar luas di wilayah Irak terutama Baghdad.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Syafi’i?
B.     Bagaimana sosiokultur yang melingkupi perkembangan fiqh Madzhab Syafi’i?
C.     Bagaimana corak atau gagasan fiqh yang digunakan Imam al-Syafi’i?

III.             PEMBAHASAN
A.    RIWAYAT HIDUP IMAM AL-SYAFI’I
Nama asli Imam Al-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib (ayah Abdul Muttalib kakek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam) bin Abdi Manaf. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa salam pada Abdi Manaf. Imam Al-Syafi’i dilahirkan di Kota Ghazzah, kemudian dibawa ke Asqalah, lalu dibawa ibunya ke Mekkah pada usia 10 tahun karena khawatir nasabnya yang mulai akan lenyap.[1] Sebelumnya ibunya membawa beliau ke Hijaz pada usia dua tahun sehingga hidup bersama orang-orang keturunan Yaman karena ibunya dari suku azdiyah.[2]
 Beliau dilahirkan pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya ketika kekuasaan jatuh pada Abu Ja’far al-Manshur.[3] Ayah beliau meninggal ketika Ia masih kecil. Sejak kecil telah nampak keistimewaan-keistimewaan pada diri beliau. Pada usia tujuh tahun ia sudah hafal Al-Qur’an diluar kepala. Selain itu Ia juga menghafal hadis-hadis Nabi. Pada usia 10 tahun beliau telah hafal Al-Muwaththa’ Karya Imam Malik, dan usia 15 tahun dengan izin gurunya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji untuk berfatwa. Beliau juga banyak menghafal beberapa syair Hudzail.[4]
Imam al-Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan di Kuffah berguru kepada Muhammad Ibnu Al-Hasan Al-Syaibani yang beraliran Hanafi. Di samping itu, Al-Syafi’i berguru kepada beberapa para Ulama selama tinggal di Yaman, Mekkah, dan Kuffah. Beliau memiliki murid yang pada periode berikutnya mengembangkan ajaran fiqh-nya.[5]
Beliau bergelar Nashirul hadits (pembela hadits), karena kegigihannya dalam membela hadits dan komitmennya untuk mengikuti sunah nabi Shallalluhu ‘alaihi wasalam. Imam al-Syafi’i adalah seorang ahli dalam bidang puisi dan sastra serta mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyusun bahasa yang indah.[6]
Imam Syafi’i memiliki banyak karya tulis, diantaranya yang terkemuka adalah:
1.      Kitab Al-Umm, yaitu kitab fiqh yang terdiri dari empat jilid berisi 1128 masalah dan terbagi ke dalam 40 bab lebih.
2.      Kitab Al-Risalah Al-Jadidah, yaitu kitab yang dijadikan sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu jilid besar yang sudah di-tahqiq oleh Ahmad Syakir.
3.      Selain dua kitab di atas, masih ada beberapa kitab yang dinisbahkan kepada beliau, diantaranya kitab Al-Musnad, As-Sunan, Ar-Rad ‘ala Al-Barahimiyah dan Mihnatu Imam Al-Syafi’i.
Imam Syafi’I wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H dan makam beliau bertempat di Kota Mesir. Penyebab kematian beliau adalah karena penyakit wasir yang dialami beliau, sehingga menyebabkan keluar darah secara terus menerus.

B.     KONDISI SOSIO KULTUR
Madzhab Imam Syafi’i tersebar luas di daerah Irak karena disanalah pertama kali madzhab ini muncul. Demikian pula tersebar di mesir sebab beliau pernah tinggal di mesir hingga akhir hayatnya. Pemeluk dari pada madzhab ini berasal dari berbagai penduduk muslim seperti di kawasan khurasan dan sekitar sungai Eufrat, Palestina, Hadramaut, Persia, bahkan menjadi madzhab yang dominan di Pakistan, Srilangka, India, Indonesia, dan Australia[7].
Diantara penyebab tersebarnya madzhab Imam Syafi’i adalah kitab-kitab yang pernah di tulis oleh beliau, majlis ilmunya, dan perjalanannya ke berbagai negeri Islam pada waktu itu.    Secara periodik fiqh syafi’i terbagi menjadi tiga[8] :
a.       Periode pertama
Mekkah adalah periode awal imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqh, setelah meniggalkan kota baghdad, kemudian tinggal di mekkah selama 9 tahun, beliau menuntut ilmu dan mencurahkan waktunya dalam dunia ilmu  pengetahuan. Disana beliau mendapatkan kematangan ilmu dan mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah beliau lakukan. Di makkah Imam Al-Syafi’i juga mendalami dalil-dalil Al–Qur’an dan menghimpun berbagai hadist. Upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana kedudukan hadist di sisi Al-Qur’an. Kitab Ar-Risalah adalah buah karya syafi’i selama periode makkah yang sengaja beliau susun atas permintaan Abdul Rahman Al-Mahdi.
b.      Periode kedua
Imam Syafi’i datang ke Kota Baghdad pada tahun 195 H. pada tahun inilah Syafi’i memulai periode ke duanya. Beliau tinggal selama kuarang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya. Imam Syafi’i mengungkapkan perbedaan pendapat yang terjadi di antara para sahabat dan latar belakang di balik perbedaan tersebut.
c.       Periode ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah beliau pindah ke mesir pada tahun 199 H. Disana beliau menetap selama empat tahun sampai beliau wafat. Di mesir terdapat berbagai warisan berharga yang di tinggalkan oleh kalangan tabi’in. Karena itu Syafi’i berupaya kembali untuk mendalami ide-ide pemikirannya yang muncul dimasa silam berdasarakan pengalaman dan kebiasaan tempat Ia tinggal. Di Mesir beliau kembali melanjutkan penulisan kitab ushulnya ar-Risalah. Kitab ar-Risalah merupakan salah satu kitab Al-Syafi’i dimana penulisan literatur khazanah keislaman dan dari segi metodeloginya didesain dalam model terbaru. Kitab ar-Risalah ini merupakan karya asy-Syafi’i yang paling terkemuka.
   
C.    CORAK FIQH IMAM AL-SYAFI’I
Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istimbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut; bahwa “asal adalah Al-Qur’an dan As-sunnah, kemudian apabila tidak ada pada Al-Qur’an dan sunnah maka ia melakukan qiyas terhadap keduanya. Dengan demikian dalil hukum bagi Syafi’i adalah al-Qur’an, sunah, dan ijma’. Sedangkan teknik ijtihad yang digunakan adalah al-Qiyas.[9]
Imam Syafi’i memiliki peranan penting dalam membela sunah Rasul dengan cara menghancurkan segala upaya musuh dengan menyebarkan isu bahwa tidak layak menerima sesuatu yang tidak satu makna dengan Al-Qur’an dan sunnah. Imam Syafi’i juga telah menjelaskan betapa besar dampak dari orang yang mengingkari sunah atau tidak mau menerima hadis yang tidak sesuai dengan makna Al-Qur’an. Jadi dalam ijtihatnya imam syafi’I memberi kelonggaran dalam menerima hadist tidak memberikan syarat dalam hadist ahad kecuali ketersambungan dan keshohihan sanad saja. Kemudian imam syafi’I juga memiliki kemampuan yang sangat mempuni untuk melakukan istimbat setelah beliau menelaah banyak kitab dengan berbagai aliran pemikiran dan mazhab seperti madrasah makkah tempatnya tumbuh dan berkembang, madrasah madinah negeri tempatnya berhijrah, serta madrasah irak yang pernah beliau tempati untuk beberapa waktu.
Karena imam asy syafi’I memiliki ketajaman bahasa dan kedalaman ilmu tentang sunnah, serata berpengalan dalam menelaah dalam masalah fiqih maka beliau juga tidak mengalami kesulitan untuk membuat ilmu ushul fiqh agar orang tau bagaimana mengenal pendapat yang benar dari yang salah, menjadi aturan yang harus diperhitungkan ketika melakukan istimbat hukum yang baru, maka beliau menulis kitab ar-Risalah yang merupakan hasil karya pertama dalam bidang ilmu ushul fiqh.[10]
Corak pemikiran Imam Syafi’I terbagi kedalam dua kelompok yaitu qaul qadim (pemikiran lama) dan qaul jadid (pemikiran baru). Qaul qadim merupakan pemikiran beliau ketika masih tinggal di Irak (rasionalis), sedang qaul jadid adalah pemikiran beliau ketika tinggal di Mesir yang merupakan hasil kolaborasi corak pemikiran ulama Hijaz (tekstual) dan Irak (rasionalis).
Dalam qaul qadim al-Syafi’i menuangkan pemikirannya dalam buku “Al-Hujjah” yang menjadi pedoman murid-muridnya di Irak, seperti Ibn Hanban, al-Za’farani, Abu Tsaur, al-Karabisi, dan lain-lain. Fatwa-fatwa qaul qadim  kebanyakan tertuang dalam kitab Al-Risalah dan Al-Hujjah. Kitab al-Hujjah dan fatwa-fatwa lainnya pada periode ini diriwayatkan oleh empat orang sahabatnya yang terkemuka di Baghdad, yaitu al-Karabisi, al-Za'farani, Abu Saur, dan Ahmad ibn Hanbal. Merekalah yang menjadi rujukan fiqh al-Syafi’i di Baghdad pada wal abad ke-3 H.
Dan qaul jadid dituangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Umm (buku induk). Kitab tersebut menjadi pedoman murid-muridnya di Mesir, diantaranya al-Buwaithi, al-Muzanni, al-Rabi, dan lain-lain.[11]  Selain tertuang pada kitab Al-Umm, qaul jadid juga tertuang dalam kitab Al-Risalah, Al-‘Amali, Al-Ilma’, dan lain-lain.  Fatwa-fatwa qaul jadid terutama diriwayatkan enam orang sahabat al-Syafi’i di Mesir, yaitu al-Buwaithi, al-Muzani, dan al-Rabi’ al Muradi. Merekalah yang mendorong madzhab al-Syafi’i berkembang dan tersebar ke berbagai wilayah Islam.
Apabila terdapat pertentangan antara qaul qadim dan qaul jadid, maka mayoritas yang diunggulkan adalah qaul jadid. Hal ini juga dinyatakan oleh ashhab (para pengikut al-Syafi’i). fatwa-fatwa qaul jadid-lah yang diamalkan, karena itulah yang dianggap shahih sebagai madzhab al-Syafi’i. Sebab pada prinsipnya, semua fatwa qaul qadim yang bertentangan dengan fatwa qaul jadid dianggap telah ditinggalkan (marju’anh) bahkan tidak dipandang lagi sebagai madzhab al-Syafi’i.[12]
Perubahan fatwa tersebut menunjukan bahwa Imam al-Syafi’i merupakan Imam yang tidak kaku. Dalam perumusan hukum, beliau mampu menyesuaikan kebutuhan dan keadaan masyarakat. Jika kita telaah lebih mendalam mengenai kemunculan qaul qadim dan qauk jadid, maka akan membuktikan fleksibilitas fiqh, juga terdapat ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut para ahli sejarah fiqh, madzhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak, tahun 195 H. Kedatangan beliau ke Baghdad ketika Pemerintahan jatuh pada khalifah al-Amin. Imam Syafi’i dilibatkan pada perdebatan sengit dengan para ahli fiqh rasional Irak.[13]

IV.             SIMPULAN
Imam as-Syafi’i merupahakan salah satu Imam Madzhab yang jumlah pemeluknya berasal dari berbagai penduduk Muslim, bahkan menjadi madzhab dominan di Indonesia. Beliau terlahir di Kota Ghazzah. Himpir seluruh waktu dalam hidupnya dicurahkan dalam dunia ilmu pengetahuan. Sejak usia muda sampai akhir hayatnya, beliau tidak pernah lelah menuntut ilmu ke berbagai tempat seperti Yaman, Mekkah, dan Kuffah.
Imam as-Syafi’i memberi pengaruh besar dalam perkembangan tasyri’. Kesungguhan hatinya dalam mengkaji ilmu fiqh membawa beliau pada berbagai persoalan-persoalan hukum yang terjadi dalam masyarakat.  Beliau berupaya menyelesaikan berbagai masalah hukum berdasarkan manhajnya. Sehingga dalam fiqh Islam banyak diwarnai oleh gagasan-gagasan beliau.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat memberikan kemanfaatan bagi kita semua. Dan kami menyadari penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran kami harapkan demi perbaikan makalah ini dan makalah selanjutnya. Wallahu’alam bish bshowwab.


DAFTAR PUSTAKA

A. Sirry, Mun’im. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Baihaqi, Imam. Manaaqib Asy-Syafi’i, n.d.
Hasan Khalil, Rasyad. Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.
Ibrahim al-Fayyuni, Muhammad. Imam Syafi’i Pelopor Fiqih Dan Sastra, Mengenal Imam Madzhab Panutan Umat. Jakarta: Erlangga, 2008.
Mubarok, Jaih. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Mukhlishin, Nurul. Ringkasan Aqidah Dan Manhaj Imam Syafi’i. Abu Salma, 2007.
Nasution, Lahmuddin. Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Ridlwan Akbar, Arif, M. Harun Ide, Shobron Jamil Pkl, Muhammad Habibie, Abdul Mu’iz Ali, and Rowiyul Ahmad. Sejarah Tasyri’ Islam, Periodisasi Legislasi Islam Dalam Bingkai Sejarah. Surabaya: Khalista, 2006.
Yafie, Ali. Sejarah Fiqh Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.











 




[1] Imam Baihaqi, Manaaqib Asy-Syafi’i, n.d.
[2] Nurul Mukhlishin, Ringkasan Aqidah Dan Manhaj Imam Syafi’i (Abu Salma, 2007)., hlm. 2
[3] Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000)., hlm. 101
[4] Mukhlishin, Ringkasan Aqidah Dan Manhaj Imam Syafi’i., hlm. 3
[5] Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam., hlm. 102-103
[6] Ali Yafie, Sejarah Fiqh Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)., hlm. 100
[7] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009)., hlm 193
[8] Muhammad Ibrahim al-Fayyuni, Imam Syafi’i Pelopor Fiqih Dan Sastra, Mengenal Imam Madzhab Panutan Umat (Jakarta: Erlangga, 2008)., hlm. 92-95
[9] Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam.
[10] Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sejarah Legislasi Hukum Islam., hlm. 191-192
[11] Arif Ridlwan Akbar et al., Sejarah Tasyri’ Islam, Periodisasi Legislasi Islam Dalam Bingkai Sejarah (Surabaya: Khalista, 2006)., hlm. 261
[12] Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001)., hlm. 173-175
[13] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)., hlm. 106-107