Minggu, 25 Mei 2014

Praktek Bisnis Islam

I.                   PENDAHULUAN
Bisnis dengan segala macam bentuknya terjadi dalam kehidupan kita. Hal itu disebabkan manusia memerlukan harta untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Karenanya, manusia akan selalu berusaha memperoleh harta kekayaan itu. Salah satunya melalui bekerja, sedangkan salah satu dari ragam bekerja adalah berbisnis.
Islam mengatur bagaimana manusia harus mencari nafkah dan bagaimana mengelola kekayaan dalam praktek bisnis Islam serta bagaimana menerapkan akad-akad yang disyariatkan. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengenalkan pembaca kepada praktek bisnis yang islami sehingga menambah pengetahuan kita mengenai bisnis Islam dan mampu mengaplikasikannya dalam dunia muamalah.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian bisnis Islam?
B.     Bagaimana akad-akad bisnis Islam?
C.     Seperti apa contoh bisnis Islam yang sudah berkembang?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bisnis Islam
Dalam kamus Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial di dunia perdagangan, dan bidang usaha. Skinner (1992) mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti (1996), bisnis memiliki makna dasar sebagai “the buying and selling of goods and services”.
Islam juga mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan, untuk “bekerja”. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah, Allah SWT melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan manusia untuk mencari rezeki. Di samping anjuran untuk mencari rezeki, Islam sangat menekankan (mewajibkan) aspek kehalalannya, baik dari sisi perolehan maupun pendayagunaannya (pengelolaan dan pembelanjaan).[1]
Lembaga bisnis Islam (syariah) merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk mengatur aturan-aturan ekonomi Islam. Sebagai bagian dari sistem ekonomi, lembaga tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial. Oleh karenanya, keberadaannya harus dpandang dalam konteks keseluruhan keberadaan masyarakat (manusia), serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Islam menolak pandangan yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu yang netral nilai.[2]
Dari paparan di atas, bisnis Islam dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).[3]

B.     Akad-Akad Bisnis Islam
1.      Pengertian Akad
Secara etimilogi, akad antara  lain berarti: “ikatan antara dua perkara, baik secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.” Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafilah yaitu: segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.
Pengertian akad secara khusus yang dikemukakan oleh ulama Fiqh, antara lain:
a.       Menurut Ibn Abidin, Akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya.
b.      Menurut Al Kamal Ibn Human, Akad adalah pengaitan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.[4]
2.      Macam-Macam Akad
Akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul dalam syariat yang menimbulkan akibat hukum pada hukumnya, memiliki beberapa bentuk transaksi. Berikut adalah beberapa akad transaksi dalam ekonomi Islam:
1.      Al-Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha), yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dan masing-masing pihak memberi kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2.      Al-Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi), yaitu akad kerjasama usaha antara dua pihak dengan ketentuan pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Dan keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
3.      Al-Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh), yaitu jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan (marginal) sebagai tambahannya.[5]
4.      Al-Bai, yaitu menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu, atau mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagai al-Bai seperti ijab dan ta’athi (saling menyerahkan).
5.      Al-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis secara tunai. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad al-Sharf adalah:
a.         Masing-masing pihak saling menyerah-terimakan barang sebelum keduanya berpisah. Syarat ini untuk menghindar terjadinya riba nasi’ah. Jika keduanya atau salah satunya tidak menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.
b.         Jika akad al-Sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus setimbang, sekalipun keduanya berbeda kualitas atau model cetakannya.
c.         Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf. Karena akad ini sesungguhnya merupakan jual beli dua benda secara tunai.
6.      Al-Salam, yaitu akad atas suatu barang dengan kriteria tertentu sebagai tanggungan tertunda dengan harga yang dibayarkan dalam majelis akad. Para imam dan tokoh-tokoh madzhab sepakat terhadap enam persyaratn akad al-Salam sebagai berikut:
a.       Barang yang dipesan harus dinyatakan secara jelas jenisnya.
b.      Jelas sifta-sifatnya.
c.       Jelas ukurannya.
d.      Jelas batas waktunya.
e.       Jelas harganya.
f.       Tempat penyerahannya juga herus dinyatakan secara jelas.
7.      Istishna (jual beli berdasarkan pesanan), yaitu akad dengan pihak pengrajin atau pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang (pesanan) tertentu di mana materi dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak pengrajin.karena akad istishna tidak sesuai dengan kaidah umum jual beli, maka fuqaha menggantungkan kebolehan akad ini dengan sejumlah syarat sebagai berikut:
a.    Obyek akad (atau produk yang dipesan) harus dinyatakan secara rinci: jenis, ukuran, sifatnya. Syarat ini sangat penting untuk menghilangkan unsur jihalah dan gharar.
b.    Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan atau kerajinan yang mana masyarakat lazim memesannya, seperti sepatu, perabot rumah tangga dan lain-lain.
c.    Waktu pengadaan produk tidak dibatasi.
8.      Ijarah (sewa atau leasing), yaitu akad atau transaksi terhadap manfaat dengan imbalan atau transaksi terhadap manfaat yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu. Tidak semua harta benda boleh diakadkan ijarah atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini:
a.       Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas.
b.      Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.
c.       Objek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara.
d.      Objek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.
e.       Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat isti’maliy, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan dzat dan pengurangan sifatnya.
9.      Al-Qardh (pinjaman), yaitu penyerahan pemilikan harta al-Misliyat kepada orang lain untuk ditagih pengembalinnya. Syarat utang-piutang adalah:
a.         Karena utang-piutang sesungguhnya merupakan sebuah transaksi (akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul yang jelas, sebagaimana jual beli, dengan menggunakan lafal qardh, salaf atau yang sepadan dengannya.
b.        Harta benda yang menjadi objeknya harus mal-mutaqawwim.
c.         Akad utang-piutang tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan di luar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh.
10.  Al-Rahn, yaitu sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (atau agunan).
11.  Al-Syirkah, yaitu akad antara pihak-pihak yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Pada garis besarnya syirkah dibedakan menjadi dua jenis:
a.       Syirkah amlak, yaitu persekutuan dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu barang. Jenis syirkah ini dibedakan menjadi dua macam:
1.      Ijbariyah, syirkah ini terjadi tanpa adanya kehendak masing-masing pihak.
2.      Ikhtiriyah, syirkah ini terjadi atas perbuatan dan kehendak pihak-pihak yang berserikat.
b.      Syirkah uqud, yaitu perserikatan antara dua pihak atau lebih dalam hal usaha, modal dan keuntungan.[6]
c.       Syirkah al-Inan, yaitu syirkah antara dua orang atau lebih yang masing-masing mengikutkan modal ke dalam syirkah dan sekaligus menjadi pengelolanya. Syirkah model inan ini dibangu  dengan prinsip perwakilan (wakalah) dan kepercayaan (amanah).
d.      Syirkah Abdan, yaitu perseroan antara dua orang atau lebih yang mengandalkan tenaga atau keahliannya, misalnya syirkah anatara insinyur sipil dan arsitek tanpa modal dana dalam sebuah usaha konsultan bangunan. Keuntungan yang didapat dibagi sesuia dengan kesepakatan. Syirkah semacam ini hukumnya mubah.
e.       Syirkah Mudharabah (Muqaradhah). Mudharabah atau muqaradhah berarti bepergian untuk urusan dagang. Secara muamalah berarti pemilik modal (shahibul mal) menyerahkan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk dikelola atau diusahakan, sedangkan keuntungannya dibagi menurut kesepakatan. Jika terdapat kerugian, akan ditanggung oleh shahibul mal sesuai proporsi modal yang di-mudharabah-kan. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun mudharabah adalah:
1.      Shahibul mal (pemiliki modal).
2.      Mudharib (pengelola).
3.      Keuntungan.
4.      Usaha yang dijalankan.
5.      Akad perjanjian.[7]

C.    Contoh Kasus Bisnis Islam (syariah)
1.      Contoh Bisnis Islam
Dewasa ini, semakin banyak isu-isu bisnis yang menambahkan istilah syariah. Ini perlu sekali didukung dari berbagai kalangan muslim. Sebab bisnis Islam akan melindungi umat Islam dari praktek-praktek bisnis yang tidak syar’i atau melanggar aturan agama Islam.
Contoh praktek bisnis Islam yang telah menampakan eksistensinya adalah “Hotel Syariah”. “Hotel Sofyan Betawi” merupakan salah satu nama hotel syariah di Indonesia tepatnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Bisnis ini sudah berdiri sejak tahun 1992. Riyanto Sofyan adalah pemilik sekaligus Komisaris Utama Hotel Sofyan Betawi.
Riyanto Sofyan dilahirkan di Jakarta pada 26 Juni 1958.  Ia memperoleh gelar Bachelor of Science in Electrical Engineering  (B.S.E.E)  dengan bidang keahlian komputer pada University of Miami, Coral Gables, Florida, Amerika Serikat pada 1980. Sejak 1986 Riyanto sudah aktif sebagai pengurus pada Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Pendidikan, Sertifikasi & SDM., Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI. Ia pun aktif sebagai Pengurus Pusat pada Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) sejak tahun 2005 dan saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Departemen. Pengembangan Bisnis, Perdagangan, & Kewirausahaan Syariah. Ia juga aktif sebagai bendahara pada  Pengurus Pusat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebuah badan di bawah  Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 2003.[8]
Pada dasarnya hotel syariah dan konvensional adalah sama-sama sebuah bisnis yang bergerak di bidang property yang mnyediakan hunian sebagai tempat menginap sementara. Perbedaannya adalah terletak pada cara penyajian dan berbagai layanan yang diberikan. Jika pada hotel konvensional semuanya bebas, baik makanan, minuman, dan hiburan. Di hotel syariah pelayanannya dibatasi. Makanan, minuman, dan restoran harus bersertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan, ada seleksi tamu dalam pelayanan hotel syariah.
Pemilik hotel menjelaskan, selain makanan dan minuman halal, setiap rest room atau kamar kecil harus mnyediakan air yang cukup untuk bersuci, baik untuk buang air kecil maupun besar bahkan mandi. Hotel Sofyan juga telah menghadirkan suasana dapur dan proses penyiapan masakan sesuai standar halal. Di setiap kamar disediakan kitab suci Alquran dan perangkat shalat sebagai sarana ibadah, termasuk mengumandangkan azan ketika waktu shalat tiba. Hal ini terkadang jarang ditemui bahkan tidak ada di hotel konvensional.
Banyak sekali keutamaan-keutamaan dari hotel syariah. Suasana hotel harus kondusif secara Islami, tidak ada hiburan bar. Setiap tamu yang datang diperiksa secara ketat dan hati-hati. Artinya, tidak semua tamu bisa diterima untuk menginap di hotel syariah, misalkan pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
2.      Hikmah dari Praktek Hotel Syariah
a.       Meraih Keberkahan
Di tahun 1989, Ia bersama ayahnya mnedirikan PT Sofyan Hotels. Namun, sejak tahun 1992, ia fokus pada konsep baru yaitu menjadikan Sofyan Hotel sebagai hotel syariah. Keputusan ini tak lain untuk menjadikan bisnis menjadi lebih berkah.
b.      Keuntungan Meningkat
Sejak Riyanto Sofyan memutuskan menjadikan hotelnya sebagai  hotel syariah, berbagai keberuntungan mulai berpihak padanya. Tidak hanya tingkat okupansi (isian kamar hotel) yang terus meningkat, namun Hotel Sofyan kian dikenal masyarakat luas, khususnya menarik perhatian kaum muslim.
c.       Menciptakan Kenyamanan  Bagi Pengunjung
Konsep syariah memebri pengalaman batin tersendiri bagi setiap tamu. Banyak pelancong yang akhirnya lebih tenang dan aman tinggal di hotel syariah karena ada ketenangan dan keamanan yang diperoleh. Terbukti bukan hanya Kaum Muslim saja yang berkunjung, melainkan Nonmuslim juga ikut ramai menginap di hotel syariah.
d.      Merciptakan Nuansa Dakwah
Dakwah Islam hadir ketika semua fasilitas pelayanan hotel ke setiap tamu tanpa menggunakan unsur kemaksiatan dan pelanggaran norma agama. Sistem syariah mengajarkan manusia hidup tenang, aman, dan sehat.[9]



IV.             KESIMPULAN
Bisnis Islam dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).
Transaksi dalam bisnis Islam harus dibentuk dari akad-akad yang telah disyariatkan. Beberapa akad tersebut adalah: Al-Musyarakah, Al-Mudharabah, Al-Murabahah, Al-Bai, Al-Salam, Istishna, Al-Sharf, Ijarah, Al-Rahn, Al-Qardh, dan Al-Syirkah.
Hasil dari berbagai praktek bisnis Islam seperti bank syariah, asuransi syariah, hotel syariah, dan lain sebagainya mencerminkan bahwa konsep syariah dapat dijadikan pedoman dalam berbisnis. Syariah merupakan suatu pedoman yang universal dan dapat diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bisnis. Insya Allah, bisnis syariah pasti akan memberikan keunggulan komparatif dari berbagai sisi.

V.                PENUTUP
Demikian sedikit penjelasan mengenai bisnis Islam, akad-akadnya, dan contoh bisnis Islam yang menerapkan sistem syariah. Penulis sadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca. Wallahu ‘alam bisshowab.




[1] Muhammad Ismail Yusanto and Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam, VII (Jakarta: Gema Insani, 2008). hal. 17
[2] Muhamad, Prinsip-Prinsip Akuntansi Dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: UII Press, 2000).
[3] Yusanto and Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam. hal. 18
[4] Wahaba Al-Juhali, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, JUz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr, 1989.
[5] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII, Ekonomi Islam, 1st ed. (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
[6] Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo, 2002).
[7] Yusanto and Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam. hal. 130
[8] Riyanto Sofyan, Bisnis Syariah, Mengapa Tidak? (Gramedia Pustaka Utama, n.d.).
[9] Dewi Rachmat Kusuma, “Kisah Pengusaha Hotel Syariah Yang Bisnisnya Makin Moncer,” March 24, 2014, http://finance.detik.com/read/2014/03/24/101951/2534366/1016/1/kisah-pengusaha-hotel-syariah-yang-bisnisnya-makin-moncer. (diakses tanggal 10 April 2014 pukul 11.12 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar