I.
PENDAHULUAN
Bisnis dengan segala macam bentuknya terjadi
dalam kehidupan kita. Hal itu disebabkan manusia memerlukan harta untuk
mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Karenanya, manusia akan selalu berusaha
memperoleh harta kekayaan itu. Salah satunya melalui bekerja, sedangkan salah
satu dari ragam bekerja adalah berbisnis.
Islam mengatur bagaimana manusia harus mencari
nafkah dan bagaimana mengelola kekayaan dalam praktek bisnis Islam serta
bagaimana menerapkan akad-akad yang disyariatkan. Dalam makalah ini, penulis
mencoba mengenalkan pembaca kepada praktek bisnis yang islami sehingga menambah
pengetahuan kita mengenai bisnis Islam dan mampu mengaplikasikannya dalam dunia
muamalah.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa
pengertian bisnis Islam?
B. Bagaimana
akad-akad bisnis Islam?
C. Seperti
apa contoh bisnis Islam yang sudah berkembang?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Bisnis Islam
Dalam
kamus Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial
di dunia perdagangan, dan bidang usaha. Skinner (1992) mendefinisikan bisnis
sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau
memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti (1996), bisnis memiliki makna
dasar sebagai “the buying and selling of goods and services”.
Islam
juga mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan, untuk
“bekerja”. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia
memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah,
Allah SWT melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat
dimanfaatkan manusia untuk mencari rezeki. Di samping anjuran untuk mencari
rezeki, Islam sangat menekankan (mewajibkan) aspek kehalalannya, baik dari sisi
perolehan maupun pendayagunaannya (pengelolaan dan pembelanjaan).[1]
Lembaga
bisnis Islam (syariah) merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk
mengatur aturan-aturan ekonomi Islam. Sebagai bagian dari sistem ekonomi,
lembaga tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial. Oleh
karenanya, keberadaannya harus dpandang dalam konteks keseluruhan keberadaan
masyarakat (manusia), serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Islam menolak pandangan yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi
merupakan ilmu yang netral nilai.[2]
Dari
paparan di atas, bisnis Islam dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas
bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas)
kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam
cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).[3]
B. Akad-Akad
Bisnis Islam
1. Pengertian
Akad
Secara
etimilogi, akad antara lain berarti: “ikatan antara dua perkara, baik
secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua
segi.” Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah,
dan Hanafilah yaitu: segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan,
dan gadai.
Pengertian
akad secara khusus yang dikemukakan oleh ulama Fiqh, antara lain:
a. Menurut
Ibn Abidin, Akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan
ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya.
b. Menurut
Al Kamal Ibn Human, Akad adalah pengaitan salah seorang yang akad dengan yang
lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.[4]
2. Macam-Macam
Akad
Akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul
dalam syariat yang menimbulkan akibat hukum pada hukumnya, memiliki beberapa
bentuk transaksi. Berikut adalah beberapa akad transaksi dalam ekonomi Islam:
1. Al-Musyarakah (Kerjasama
Modal Usaha), yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dan masing-masing pihak memberi kontribusi dana dengan
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2. Al-Mudharabah (Kerjasama
Mitra Usaha dan Investasi), yaitu akad kerjasama usaha antara dua pihak dengan
ketentuan pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Dan keuntungan usaha dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
3. Al-Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh), yaitu
jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati
dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan (marginal) sebagai tambahannya.[5]
4. Al-Bai, yaitu menukarkan harta dengan harta melalui
tata cara tertentu, atau mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu
yang lain melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagai al-Bai seperti
ijab dan ta’athi (saling menyerahkan).
5. Al-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau
antara barang tidak sejenis secara tunai. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam
akad al-Sharf adalah:
a.
Masing-masing pihak saling menyerah-terimakan
barang sebelum keduanya berpisah. Syarat ini untuk menghindar terjadinya riba nasi’ah.
Jika keduanya atau salah satunya tidak menyerahkan barang sampai keduanya
berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.
b.
Jika akad al-Sharf dilakukan atas barang
sejenis maka harus setimbang, sekalipun keduanya berbeda kualitas atau model
cetakannya.
c.
Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf.
Karena akad ini sesungguhnya merupakan jual beli dua benda secara tunai.
6. Al-Salam, yaitu akad atas suatu barang dengan kriteria
tertentu sebagai tanggungan tertunda dengan harga yang dibayarkan dalam majelis
akad. Para imam dan tokoh-tokoh madzhab sepakat terhadap enam persyaratn akad al-Salam
sebagai berikut:
a. Barang yang dipesan harus dinyatakan secara
jelas jenisnya.
b. Jelas sifta-sifatnya.
c. Jelas ukurannya.
d. Jelas batas waktunya.
e. Jelas harganya.
f. Tempat penyerahannya juga herus dinyatakan
secara jelas.
7. Istishna (jual beli berdasarkan pesanan), yaitu akad
dengan pihak pengrajin atau pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang
(pesanan) tertentu di mana materi dan biaya produksi menjadi tanggungjawab
pihak pengrajin.karena akad istishna tidak sesuai dengan kaidah umum jual beli,
maka fuqaha menggantungkan kebolehan akad ini dengan sejumlah syarat sebagai
berikut:
a. Obyek akad (atau produk yang dipesan) harus
dinyatakan secara rinci: jenis, ukuran, sifatnya. Syarat ini sangat penting
untuk menghilangkan unsur jihalah dan gharar.
b. Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan atau
kerajinan yang mana masyarakat lazim memesannya, seperti sepatu, perabot rumah
tangga dan lain-lain.
c. Waktu pengadaan produk tidak dibatasi.
8. Ijarah (sewa atau leasing), yaitu akad atau transaksi
terhadap manfaat dengan imbalan atau transaksi terhadap manfaat yang
dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan
dengan imbalan tertentu. Tidak semua harta benda boleh diakadkan ijarah
atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini:
a. Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara
jelas.
b. Objek ijarah dapat diserahterimakan dan
dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi
fungsinya.
c. Objek ijarah dan pemanfaatannya haruslah
tidak bertentangan dengan hukum syara.
d. Objek yang disewakan adalah manfaat langsung
dari sebuah benda.
e. Harta benda yang menjadi objek ijarah
haruslah harta benda yang bersifat isti’maliy, yakni
harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan
dzat dan pengurangan sifatnya.
9. Al-Qardh (pinjaman), yaitu penyerahan pemilikan harta al-Misliyat
kepada orang lain untuk ditagih pengembalinnya. Syarat utang-piutang adalah:
a.
Karena utang-piutang sesungguhnya merupakan
sebuah transaksi (akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul yang
jelas, sebagaimana jual beli, dengan menggunakan lafal qardh, salaf
atau yang sepadan dengannya.
b.
Harta benda yang menjadi objeknya harus mal-mutaqawwim.
c.
Akad utang-piutang tidak boleh dikaitkan dengan
suatu persyaratan di luar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh.
10. Al-Rahn, yaitu sebuah akad utang piutang yang disertai
dengan jaminan (atau agunan).
11. Al-Syirkah, yaitu akad antara pihak-pihak yang berserikat
dalam hal modal dan keuntungan. Pada garis besarnya syirkah dibedakan
menjadi dua jenis:
a. Syirkah amlak, yaitu
persekutuan dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu barang. Jenis syirkah
ini dibedakan menjadi dua macam:
1. Ijbariyah, syirkah ini terjadi tanpa adanya
kehendak masing-masing pihak.
2. Ikhtiriyah, syirkah ini terjadi atas perbuatan dan
kehendak pihak-pihak yang berserikat.
b. Syirkah uqud, yaitu
perserikatan antara dua pihak atau lebih dalam hal usaha, modal dan keuntungan.[6]
c. Syirkah al-Inan, yaitu syirkah
antara dua orang atau lebih yang masing-masing mengikutkan modal ke dalam syirkah
dan sekaligus menjadi pengelolanya. Syirkah model inan ini
dibangu dengan prinsip perwakilan (wakalah)
dan kepercayaan (amanah).
d. Syirkah Abdan, yaitu perseroan antara dua orang atau lebih
yang mengandalkan tenaga atau keahliannya, misalnya syirkah anatara
insinyur sipil dan arsitek tanpa modal dana dalam sebuah usaha konsultan
bangunan. Keuntungan yang didapat dibagi sesuia dengan kesepakatan. Syirkah semacam
ini hukumnya mubah.
e. Syirkah Mudharabah (Muqaradhah). Mudharabah
atau muqaradhah berarti bepergian untuk urusan dagang. Secara
muamalah berarti pemilik modal (shahibul mal) menyerahkan modalnya
kepada pengelola (mudharib) untuk dikelola atau diusahakan, sedangkan
keuntungannya dibagi menurut kesepakatan. Jika terdapat kerugian, akan
ditanggung oleh shahibul mal sesuai proporsi modal yang di-mudharabah-kan.
Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun mudharabah adalah:
1. Shahibul mal (pemiliki modal).
2. Mudharib (pengelola).
3. Keuntungan.
4. Usaha yang dijalankan.
5. Akad perjanjian.[7]
C. Contoh Kasus Bisnis Islam (syariah)
1. Contoh Bisnis Islam
Dewasa ini, semakin banyak isu-isu bisnis yang
menambahkan istilah syariah. Ini perlu sekali didukung dari berbagai kalangan
muslim. Sebab bisnis Islam akan melindungi umat Islam dari praktek-praktek
bisnis yang tidak syar’i atau melanggar aturan agama Islam.
Contoh praktek bisnis Islam yang telah
menampakan eksistensinya adalah “Hotel Syariah”. “Hotel Sofyan Betawi”
merupakan salah satu nama hotel syariah di Indonesia tepatnya di kawasan
Menteng, Jakarta Pusat. Bisnis ini sudah berdiri sejak tahun 1992. Riyanto
Sofyan adalah pemilik sekaligus Komisaris Utama Hotel Sofyan Betawi.
Riyanto Sofyan dilahirkan di Jakarta pada 26 Juni
1958. Ia memperoleh gelar Bachelor of Science in Electrical
Engineering (B.S.E.E) dengan bidang keahlian komputer pada
University of Miami, Coral Gables, Florida, Amerika Serikat pada 1980. Sejak
1986 Riyanto sudah aktif sebagai pengurus pada Perhimpunan Hotel dan Restoran
Indonesia (PHRI). Saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Bidang
Pendidikan, Sertifikasi & SDM., Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI. Ia pun
aktif sebagai Pengurus Pusat pada Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) sejak tahun
2005 dan saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Departemen. Pengembangan Bisnis,
Perdagangan, & Kewirausahaan Syariah. Ia juga aktif sebagai bendahara
pada Pengurus Pusat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebuah
badan di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 2003.[8]
Pada dasarnya hotel syariah dan konvensional
adalah sama-sama sebuah bisnis yang bergerak di bidang property yang mnyediakan
hunian sebagai tempat menginap sementara. Perbedaannya adalah terletak pada
cara penyajian dan berbagai layanan yang diberikan. Jika pada hotel
konvensional semuanya bebas, baik makanan, minuman, dan hiburan. Di hotel
syariah pelayanannya dibatasi. Makanan, minuman, dan restoran harus
bersertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan, ada seleksi
tamu dalam pelayanan hotel syariah.
Pemilik hotel menjelaskan, selain makanan dan
minuman halal, setiap rest room atau kamar kecil harus mnyediakan air yang
cukup untuk bersuci, baik untuk buang air kecil maupun besar bahkan mandi.
Hotel Sofyan juga telah menghadirkan suasana dapur dan proses penyiapan masakan
sesuai standar halal. Di setiap kamar disediakan kitab suci Alquran dan
perangkat shalat sebagai sarana ibadah, termasuk mengumandangkan azan ketika
waktu shalat tiba. Hal ini terkadang jarang ditemui bahkan tidak ada di hotel
konvensional.
Banyak sekali keutamaan-keutamaan dari hotel
syariah. Suasana hotel harus kondusif secara Islami, tidak ada hiburan bar.
Setiap tamu yang datang diperiksa secara ketat dan hati-hati. Artinya, tidak
semua tamu bisa diterima untuk menginap di hotel syariah, misalkan pasangan
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
2. Hikmah dari Praktek Hotel Syariah
a. Meraih Keberkahan
Di tahun 1989, Ia bersama ayahnya mnedirikan PT
Sofyan Hotels. Namun, sejak tahun 1992, ia fokus pada konsep baru yaitu
menjadikan Sofyan Hotel sebagai hotel syariah. Keputusan ini tak lain untuk
menjadikan bisnis menjadi lebih berkah.
b. Keuntungan Meningkat
Sejak Riyanto Sofyan memutuskan menjadikan
hotelnya sebagai hotel syariah, berbagai
keberuntungan mulai berpihak padanya. Tidak hanya tingkat okupansi (isian kamar
hotel) yang terus meningkat, namun Hotel Sofyan kian dikenal masyarakat luas,
khususnya menarik perhatian kaum muslim.
c. Menciptakan Kenyamanan Bagi Pengunjung
Konsep syariah memebri pengalaman batin
tersendiri bagi setiap tamu. Banyak pelancong yang akhirnya lebih tenang dan
aman tinggal di hotel syariah karena ada ketenangan dan keamanan yang
diperoleh. Terbukti bukan hanya Kaum Muslim saja yang berkunjung, melainkan
Nonmuslim juga ikut ramai menginap di hotel syariah.
d. Merciptakan
Nuansa Dakwah
Dakwah
Islam hadir ketika semua fasilitas pelayanan hotel ke setiap tamu tanpa
menggunakan unsur kemaksiatan dan pelanggaran norma agama. Sistem syariah
mengajarkan manusia hidup tenang, aman, dan sehat.[9]
IV.
KESIMPULAN
Bisnis Islam dapat diartikan sebagai
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi
jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun
dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan
haram).
Transaksi
dalam bisnis Islam harus dibentuk dari akad-akad yang telah disyariatkan.
Beberapa akad tersebut adalah: Al-Musyarakah, Al-Mudharabah, Al-Murabahah, Al-Bai, Al-Salam, Istishna, Al-Sharf, Ijarah, Al-Rahn, Al-Qardh, dan Al-Syirkah.
Hasil dari
berbagai praktek bisnis Islam seperti bank syariah, asuransi syariah, hotel
syariah, dan lain sebagainya mencerminkan bahwa konsep syariah dapat dijadikan
pedoman dalam berbisnis. Syariah merupakan suatu pedoman yang universal dan
dapat diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bisnis. Insya Allah,
bisnis syariah pasti akan memberikan keunggulan komparatif dari berbagai sisi.
V.
PENUTUP
Demikian sedikit penjelasan mengenai bisnis
Islam, akad-akadnya, dan contoh bisnis Islam yang menerapkan sistem syariah.
Penulis sadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan guna perbaikan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca. Wallahu ‘alam
bisshowab.
[1] Muhammad
Ismail Yusanto and Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam,
VII (Jakarta: Gema Insani, 2008). hal. 17
[2] Muhamad,
Prinsip-Prinsip Akuntansi Dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: UII Press, 2000).
[3] Yusanto
and Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam. hal. 18
[4] Wahaba
Al-Juhali, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, JUz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr,
1989.
[5] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII, Ekonomi Islam, 1st ed.
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
[6] Gufron
A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo, 2002).
[7] Yusanto
and Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam. hal. 130
[8] Riyanto
Sofyan, Bisnis Syariah, Mengapa Tidak? (Gramedia Pustaka Utama, n.d.).
[9] Dewi
Rachmat Kusuma, “Kisah Pengusaha Hotel Syariah Yang Bisnisnya Makin Moncer,”
March 24, 2014, http://finance.detik.com/read/2014/03/24/101951/2534366/1016/1/kisah-pengusaha-hotel-syariah-yang-bisnisnya-makin-moncer. (diakses tanggal 10 April
2014 pukul 11.12 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar