Senin, 26 Mei 2014

SINOPSIS NOVEL “BAIT SURAU”
Rommy, seorang laki-laki yang tak pernah menemui sebuah ruang keteduhan, kedamaian cinta yang tak pernah merangkul hatinya, Ia selalu gagal menerima cinta dan menghargai cinta dengan semestinya. Ia hanya mengenal cinta dunia sebagai budak nafsunya semata. Cinta yang selama ini dianggapnya hanya kebebasan, pergaulan yang mengumbar birahi. Tentu modalnya adalah materi. Dan bagi Rommy, materi bukanlah hal yang susah. Cinta yang menyejukan pikiran dan memupuk perilaku menjadi serba ikhlas sebenarnya merupakan kebutuhan hati setiap insan yang amat penting. Namun cinta yang dirasakan Rommy, hanya menumpuk kegelisahan, dan hatinya selalu menanggung kegersangan.
Rommy selalu merasa hak dan kebebasannya terampas, ditambah persoalan hidup  semisal permasalahan di kantor, pertengakaran dengan Bram sahabatnya, dengan saudara dan orang tuanya, terlebih pemaksaan orang tuanya yang kali ini tidak bisa dihindari Rommy. Rommy dipaksa untuk menikahi Nadia. Semua saudaranya sangat mendukung keinginan orang tuanya. Karena bila tidak, perekerjaan Rommy yang sudah mapan itu turut hilang. Barangkali inilah sumber tekanan batin Rommy. Sebab itu, kekalahannya, kebebasannya yang dirampas, bagi Rommy adalah Nadia penyebabnya. Nadia merupakan simbol kekalahannya, simbol kebebasan dari pilihannya yang dirampas. Pada akhirnya segala kemarahannya ingin Ia tumpahkan semua dan bermuara kepada Nadia, Nadia seolah menjadi keranjang sampah amarah Rommy.
Perjalanan hidup yang gersang, seperti alam tanpa pepohonan. Kering. Tidak ada kenyamanan, kesejukan, ketenangan, dan cinta. Seperti itulah perumpaman untuk kehidupan Rommy. Catatan kelam itu ingin segera dilipatnya, disimpannya rapat-rapat dalam ruang penglupaan. Diikatnya dengan tali dalam penjara pengacuhan, selamanya. Manusia tidak akan sanggup terus-menerus menanggung kegersangan hidup yang semakin menumpuk. Manusia  butuh cinta. Cinta yang menenangkan hati.
Kini, jembatan  keimanan mulai Ia telusuri. Inilah bagian dari hati kecil Rommy yang mulai diakui oleh pikiran dan rasanya. Di Desa  Samadikun di Tepi Pantai Utara, di rumah Rommy yang sederhana  Ia berlabuh untuk menemui jawaban dari sejumlah pertanyaan besar suara hati kecilnya. Bersama keluarga sederhana penuh damai dan cinta. Rommy belajar memulai kehidupan baru. Kehidupan yang jauh dengan kemewahan dan kemegahan, faktanya memang sangat berbanding terbalik dengan kehidupan sebelumnya.
Semakin hari Rommy semakin kerasan tinggal di rumah Ramdhan. Hatinya semakin tenang tidak segelisah ketika di Jakarta. Barangkali ketenangan hidup memang tidak bisa ditentukan oleh materi. Hari–harinya di rumah Ramdhan, ternyata mampu memberi jawaban yang selama ini tertunda, kehinaan karena kesombongan perlahan menyeruak hilang berganti kerinduan, sebagaimana kerinduan orang-orang pewaris Nabi.
Suatu ketika, Rommy sedang menatap nisan sisa penjualan Abah (orang tua Ramdhan) di sore itu. Perlahan punggung dan kepalanya berguncang. Rommy menangis pilu. Ada apa dengan perasaan Rommy?. Rommy semakin tidak kuat menahan kesedihan. Kesedihannya tak mungkin mengembalikan Nadia, istiriya. Dan Nadia tidak akan bisa mengisi hari-harinya lagi.
Rommy ingat malam itu, dia sangat marah. Mobil SUV-nya yang dikendarainya berjalan tidak benar. Berkali-kali dia menampar Nadia. Semakin nadia menangis ketakutan, Rommy semakin marah. Tidak puas menampar, Rommy meludahi Nadia. Masalah sebenarnya, Nadia memberi tahu bahwa ia sedang hamil dan Rommy akan segera menjadi ayah. Bukannya senang, Rommy malah marah-marah. Mobil Rommy semakin tidak menentu berjalannya.
Suara tangis Nadia semakin kencang, Tapi suaranya kalah keras oleh derum mobil dan suara rem yang kadang diinjak mendadak. Nadia berpegangan semakin keras. Hanya menangis yang bisa dilakukannya untuk mengekspresikan ketakutannya. Nadia tidak punya kesempatan memakai sabuk pengaman yang tadi lupa dipakainya. Rommy tertawa puas melihat Nadia ketakutan seperti itu. Puas melihat Nadia tidak bisa bicara lagi. Nadia semakin bertambah takutnya, dilihatnya sebuah kereta melaju dengan kecepatan sedang, Rommy tidak peduli ketika Nadia menjerit memberi peringatan. Rommy terus tertawa puas. Di sebuah tikungan, Rommy baru sadar sebuah kereta akan melintas rel tanpa pintu lintasan. Rommy membanting setir menghindari tabrakan. Tapi mobil sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Sekuat tenaga rem diinjaknya, suaranya menjarit sekeras jeritan Nadia. Semuanya terlambat, Nadia bahkan sudah pingsan sebelumnya. Bruuuuaakkk… mobil SUV yang dikendarai Rommy tertabrak kereta. Mobil jumpalitan, menyeret penumpangnya lebih dari 300 meter. Rommy tidak ingat apa-apa lagi.
Mengenang perilaku kejamnya itu, kini sampai kepada penyesalannya di masa lalu. Bagian kecil dari hatinya itu sekarang menguasai diri Rommy. Kini menjadi kesenangan  hatinya, Rommy belajar mengaji bersama dengan anak-anak di surau. Rommy semangat sekali belajar. Semangat yang menjadi bahan bakar jiwanya, membuatnya melompat jauh untuk memburu nilai-nilai kemuliaan. Semangat itu semakin menyala. Rommy semakin sadar akan kesempatan yang pernah hilang untuk berbuat baik. Surau kecil itu penuh arti bagi Rommy. Terutama bagi hatinya karena kehadiran Rommy telah sampai menjadi bagian dari pecinta Baitullah. Bait demi bait keimanan, Rommy dapatkan di surau sederhana ini. Syair-syair kebenaranNya terpecik pelan dan pasti. Mengkritik dan mencaci keangkuhan yang telah bersemayam cukup lama di relung jiwanya.
Sebuah kabar gembira ketika Rommy dan Ramdhan merencanakan pembangunan surau. Surau yang memang sepatutnya mendapat perbaikan. Tak lama setelah pembangunan surau, terjadi  peristiwa tragis yang tak diduga. Ketika melaut kapal yang diarungi Rommy dan Ramdhan terbalik. Mungkin inilah tanda bahwa syahidnya kematian mereka setelah pembangunan surau. Diantara rahmat Allah, kadang manusia tertimpa musibah yang menjadi pelindung baginya dari penyakit hati dan keburukan akhlak. Maha suci Allah yang merahmati manusia dengan musibah dan ujian. Kini surau itu tepampang papan nama dengan tulisan “AL-GHAZALI”. Nama “GHAZALI”, sebutan khusus untuk Rommy dari Abah saat Rommy mengembara hidup di Samadikun.
KOMENTAR / ULASAN NOVEL
Ketika manusia belum menemui arti hidup, dan Ia kehilangan pijakan untuk menempuh kehidupan, Ia kebingungan mencari jawaban apa penyebab dari kegelisahan hatinya. Seperti halnya yang dirasakan Rommy, nilai kerinduan seorang anak manusia dan fenomena antara rasa dan cinta pada Sang Kholiq.
            Rasa cinta terhadap dunia dengan kuantitas besar, mampu mengidapkan lupa terhadap makna penghambaan kepada Tuhan. Kesombongan yang mampu menghempas kehinaan serta kedzaliman yang menghapus nilai-nilai kemuliaan diri seorang manusia. Ternyata itu semua, hanya mengundang keresahan, kegundahan hidup, dan kegersangan hati yang membakar kelembutan hati manusia.
Dengan hal itu, ketika penyesalan telah hinggap menyibak hati kecil insani, maka seolah menuntut kedamaian, mendambakan sebuah kesejukan hati yang telah lama jauh dari ruang teduh Ilahi. Kini Rommy menyadari perilaku kejamnya takkan mampu memberi kebahagiaan hidup yang kekal. Bahkan menjadi hal tragis ketika kesedihannya tak mungkin mengembalikan Nadia. Keresahan yang tak akan memberi kesempatan, kesempatan membalas kasih sempurna yang diberikan Nadia ketika masih disampingnya.
Melalui pengenalan akan kehidupan baru, kehidupan yang terus berusaha memanggil Nama Rabb-nya. Panggilan yang dilakukan oleh hamba yang dzalim. Rommy mulai menemukan arti dan tujuan hidup. Arti hidup sebab cinta yang menghiasi bukan kemegahan dunia. Tujuan hidup sebab hidup untuk mengabdi pada Tuhan bukan menjadi budak nafsu.

Makna cinta yang menyatakan sebuah pengabdian kepada Tuhan menjadi sumber cahaya hati manusia. Dan sebaliknya adapun kategori Abdullah dengan pengabaian yang besar, inilah makna merugi. Dipastikan bahwa setiap hati kecil manusia sesungguhnya selalu menuntut serta mengharapkan rasa cinta dan kerinduan pada Tuhan Yang Esa, Allah SWT. karena disitulah pusat kedamaian. Kedamaian yang tak tertanding ketika Kasih dan Cinta-Nya telah merangkul hati manusia. Dan Kunci hati yang bersih adalah ketika Ia selalu bertaubat meyakini Tuhannya Maha Pengampun.

Minggu, 25 Mei 2014

Praktek Bisnis Islam

I.                   PENDAHULUAN
Bisnis dengan segala macam bentuknya terjadi dalam kehidupan kita. Hal itu disebabkan manusia memerlukan harta untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Karenanya, manusia akan selalu berusaha memperoleh harta kekayaan itu. Salah satunya melalui bekerja, sedangkan salah satu dari ragam bekerja adalah berbisnis.
Islam mengatur bagaimana manusia harus mencari nafkah dan bagaimana mengelola kekayaan dalam praktek bisnis Islam serta bagaimana menerapkan akad-akad yang disyariatkan. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengenalkan pembaca kepada praktek bisnis yang islami sehingga menambah pengetahuan kita mengenai bisnis Islam dan mampu mengaplikasikannya dalam dunia muamalah.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian bisnis Islam?
B.     Bagaimana akad-akad bisnis Islam?
C.     Seperti apa contoh bisnis Islam yang sudah berkembang?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bisnis Islam
Dalam kamus Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial di dunia perdagangan, dan bidang usaha. Skinner (1992) mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti (1996), bisnis memiliki makna dasar sebagai “the buying and selling of goods and services”.
Islam juga mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki tanggungan, untuk “bekerja”. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah, Allah SWT melapangkan bumi serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan manusia untuk mencari rezeki. Di samping anjuran untuk mencari rezeki, Islam sangat menekankan (mewajibkan) aspek kehalalannya, baik dari sisi perolehan maupun pendayagunaannya (pengelolaan dan pembelanjaan).[1]
Lembaga bisnis Islam (syariah) merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk mengatur aturan-aturan ekonomi Islam. Sebagai bagian dari sistem ekonomi, lembaga tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial. Oleh karenanya, keberadaannya harus dpandang dalam konteks keseluruhan keberadaan masyarakat (manusia), serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Islam menolak pandangan yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu yang netral nilai.[2]
Dari paparan di atas, bisnis Islam dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).[3]

B.     Akad-Akad Bisnis Islam
1.      Pengertian Akad
Secara etimilogi, akad antara  lain berarti: “ikatan antara dua perkara, baik secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.” Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafilah yaitu: segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.
Pengertian akad secara khusus yang dikemukakan oleh ulama Fiqh, antara lain:
a.       Menurut Ibn Abidin, Akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya.
b.      Menurut Al Kamal Ibn Human, Akad adalah pengaitan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.[4]
2.      Macam-Macam Akad
Akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul dalam syariat yang menimbulkan akibat hukum pada hukumnya, memiliki beberapa bentuk transaksi. Berikut adalah beberapa akad transaksi dalam ekonomi Islam:
1.      Al-Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha), yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dan masing-masing pihak memberi kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2.      Al-Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi), yaitu akad kerjasama usaha antara dua pihak dengan ketentuan pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Dan keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
3.      Al-Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh), yaitu jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan (marginal) sebagai tambahannya.[5]
4.      Al-Bai, yaitu menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu, atau mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagai al-Bai seperti ijab dan ta’athi (saling menyerahkan).
5.      Al-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis secara tunai. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad al-Sharf adalah:
a.         Masing-masing pihak saling menyerah-terimakan barang sebelum keduanya berpisah. Syarat ini untuk menghindar terjadinya riba nasi’ah. Jika keduanya atau salah satunya tidak menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.
b.         Jika akad al-Sharf dilakukan atas barang sejenis maka harus setimbang, sekalipun keduanya berbeda kualitas atau model cetakannya.
c.         Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad al-Sharf. Karena akad ini sesungguhnya merupakan jual beli dua benda secara tunai.
6.      Al-Salam, yaitu akad atas suatu barang dengan kriteria tertentu sebagai tanggungan tertunda dengan harga yang dibayarkan dalam majelis akad. Para imam dan tokoh-tokoh madzhab sepakat terhadap enam persyaratn akad al-Salam sebagai berikut:
a.       Barang yang dipesan harus dinyatakan secara jelas jenisnya.
b.      Jelas sifta-sifatnya.
c.       Jelas ukurannya.
d.      Jelas batas waktunya.
e.       Jelas harganya.
f.       Tempat penyerahannya juga herus dinyatakan secara jelas.
7.      Istishna (jual beli berdasarkan pesanan), yaitu akad dengan pihak pengrajin atau pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang (pesanan) tertentu di mana materi dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak pengrajin.karena akad istishna tidak sesuai dengan kaidah umum jual beli, maka fuqaha menggantungkan kebolehan akad ini dengan sejumlah syarat sebagai berikut:
a.    Obyek akad (atau produk yang dipesan) harus dinyatakan secara rinci: jenis, ukuran, sifatnya. Syarat ini sangat penting untuk menghilangkan unsur jihalah dan gharar.
b.    Produk yang dipesan berupa hasil pekerjaan atau kerajinan yang mana masyarakat lazim memesannya, seperti sepatu, perabot rumah tangga dan lain-lain.
c.    Waktu pengadaan produk tidak dibatasi.
8.      Ijarah (sewa atau leasing), yaitu akad atau transaksi terhadap manfaat dengan imbalan atau transaksi terhadap manfaat yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan dengan imbalan tertentu. Tidak semua harta benda boleh diakadkan ijarah atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini:
a.       Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas.
b.      Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.
c.       Objek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara.
d.      Objek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.
e.       Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat isti’maliy, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan dzat dan pengurangan sifatnya.
9.      Al-Qardh (pinjaman), yaitu penyerahan pemilikan harta al-Misliyat kepada orang lain untuk ditagih pengembalinnya. Syarat utang-piutang adalah:
a.         Karena utang-piutang sesungguhnya merupakan sebuah transaksi (akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul yang jelas, sebagaimana jual beli, dengan menggunakan lafal qardh, salaf atau yang sepadan dengannya.
b.        Harta benda yang menjadi objeknya harus mal-mutaqawwim.
c.         Akad utang-piutang tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan di luar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh.
10.  Al-Rahn, yaitu sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (atau agunan).
11.  Al-Syirkah, yaitu akad antara pihak-pihak yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Pada garis besarnya syirkah dibedakan menjadi dua jenis:
a.       Syirkah amlak, yaitu persekutuan dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu barang. Jenis syirkah ini dibedakan menjadi dua macam:
1.      Ijbariyah, syirkah ini terjadi tanpa adanya kehendak masing-masing pihak.
2.      Ikhtiriyah, syirkah ini terjadi atas perbuatan dan kehendak pihak-pihak yang berserikat.
b.      Syirkah uqud, yaitu perserikatan antara dua pihak atau lebih dalam hal usaha, modal dan keuntungan.[6]
c.       Syirkah al-Inan, yaitu syirkah antara dua orang atau lebih yang masing-masing mengikutkan modal ke dalam syirkah dan sekaligus menjadi pengelolanya. Syirkah model inan ini dibangu  dengan prinsip perwakilan (wakalah) dan kepercayaan (amanah).
d.      Syirkah Abdan, yaitu perseroan antara dua orang atau lebih yang mengandalkan tenaga atau keahliannya, misalnya syirkah anatara insinyur sipil dan arsitek tanpa modal dana dalam sebuah usaha konsultan bangunan. Keuntungan yang didapat dibagi sesuia dengan kesepakatan. Syirkah semacam ini hukumnya mubah.
e.       Syirkah Mudharabah (Muqaradhah). Mudharabah atau muqaradhah berarti bepergian untuk urusan dagang. Secara muamalah berarti pemilik modal (shahibul mal) menyerahkan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk dikelola atau diusahakan, sedangkan keuntungannya dibagi menurut kesepakatan. Jika terdapat kerugian, akan ditanggung oleh shahibul mal sesuai proporsi modal yang di-mudharabah-kan. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun mudharabah adalah:
1.      Shahibul mal (pemiliki modal).
2.      Mudharib (pengelola).
3.      Keuntungan.
4.      Usaha yang dijalankan.
5.      Akad perjanjian.[7]

C.    Contoh Kasus Bisnis Islam (syariah)
1.      Contoh Bisnis Islam
Dewasa ini, semakin banyak isu-isu bisnis yang menambahkan istilah syariah. Ini perlu sekali didukung dari berbagai kalangan muslim. Sebab bisnis Islam akan melindungi umat Islam dari praktek-praktek bisnis yang tidak syar’i atau melanggar aturan agama Islam.
Contoh praktek bisnis Islam yang telah menampakan eksistensinya adalah “Hotel Syariah”. “Hotel Sofyan Betawi” merupakan salah satu nama hotel syariah di Indonesia tepatnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Bisnis ini sudah berdiri sejak tahun 1992. Riyanto Sofyan adalah pemilik sekaligus Komisaris Utama Hotel Sofyan Betawi.
Riyanto Sofyan dilahirkan di Jakarta pada 26 Juni 1958.  Ia memperoleh gelar Bachelor of Science in Electrical Engineering  (B.S.E.E)  dengan bidang keahlian komputer pada University of Miami, Coral Gables, Florida, Amerika Serikat pada 1980. Sejak 1986 Riyanto sudah aktif sebagai pengurus pada Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Pendidikan, Sertifikasi & SDM., Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI. Ia pun aktif sebagai Pengurus Pusat pada Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) sejak tahun 2005 dan saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Departemen. Pengembangan Bisnis, Perdagangan, & Kewirausahaan Syariah. Ia juga aktif sebagai bendahara pada  Pengurus Pusat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebuah badan di bawah  Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak tahun 2003.[8]
Pada dasarnya hotel syariah dan konvensional adalah sama-sama sebuah bisnis yang bergerak di bidang property yang mnyediakan hunian sebagai tempat menginap sementara. Perbedaannya adalah terletak pada cara penyajian dan berbagai layanan yang diberikan. Jika pada hotel konvensional semuanya bebas, baik makanan, minuman, dan hiburan. Di hotel syariah pelayanannya dibatasi. Makanan, minuman, dan restoran harus bersertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan, ada seleksi tamu dalam pelayanan hotel syariah.
Pemilik hotel menjelaskan, selain makanan dan minuman halal, setiap rest room atau kamar kecil harus mnyediakan air yang cukup untuk bersuci, baik untuk buang air kecil maupun besar bahkan mandi. Hotel Sofyan juga telah menghadirkan suasana dapur dan proses penyiapan masakan sesuai standar halal. Di setiap kamar disediakan kitab suci Alquran dan perangkat shalat sebagai sarana ibadah, termasuk mengumandangkan azan ketika waktu shalat tiba. Hal ini terkadang jarang ditemui bahkan tidak ada di hotel konvensional.
Banyak sekali keutamaan-keutamaan dari hotel syariah. Suasana hotel harus kondusif secara Islami, tidak ada hiburan bar. Setiap tamu yang datang diperiksa secara ketat dan hati-hati. Artinya, tidak semua tamu bisa diterima untuk menginap di hotel syariah, misalkan pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
2.      Hikmah dari Praktek Hotel Syariah
a.       Meraih Keberkahan
Di tahun 1989, Ia bersama ayahnya mnedirikan PT Sofyan Hotels. Namun, sejak tahun 1992, ia fokus pada konsep baru yaitu menjadikan Sofyan Hotel sebagai hotel syariah. Keputusan ini tak lain untuk menjadikan bisnis menjadi lebih berkah.
b.      Keuntungan Meningkat
Sejak Riyanto Sofyan memutuskan menjadikan hotelnya sebagai  hotel syariah, berbagai keberuntungan mulai berpihak padanya. Tidak hanya tingkat okupansi (isian kamar hotel) yang terus meningkat, namun Hotel Sofyan kian dikenal masyarakat luas, khususnya menarik perhatian kaum muslim.
c.       Menciptakan Kenyamanan  Bagi Pengunjung
Konsep syariah memebri pengalaman batin tersendiri bagi setiap tamu. Banyak pelancong yang akhirnya lebih tenang dan aman tinggal di hotel syariah karena ada ketenangan dan keamanan yang diperoleh. Terbukti bukan hanya Kaum Muslim saja yang berkunjung, melainkan Nonmuslim juga ikut ramai menginap di hotel syariah.
d.      Merciptakan Nuansa Dakwah
Dakwah Islam hadir ketika semua fasilitas pelayanan hotel ke setiap tamu tanpa menggunakan unsur kemaksiatan dan pelanggaran norma agama. Sistem syariah mengajarkan manusia hidup tenang, aman, dan sehat.[9]



IV.             KESIMPULAN
Bisnis Islam dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).
Transaksi dalam bisnis Islam harus dibentuk dari akad-akad yang telah disyariatkan. Beberapa akad tersebut adalah: Al-Musyarakah, Al-Mudharabah, Al-Murabahah, Al-Bai, Al-Salam, Istishna, Al-Sharf, Ijarah, Al-Rahn, Al-Qardh, dan Al-Syirkah.
Hasil dari berbagai praktek bisnis Islam seperti bank syariah, asuransi syariah, hotel syariah, dan lain sebagainya mencerminkan bahwa konsep syariah dapat dijadikan pedoman dalam berbisnis. Syariah merupakan suatu pedoman yang universal dan dapat diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bisnis. Insya Allah, bisnis syariah pasti akan memberikan keunggulan komparatif dari berbagai sisi.

V.                PENUTUP
Demikian sedikit penjelasan mengenai bisnis Islam, akad-akadnya, dan contoh bisnis Islam yang menerapkan sistem syariah. Penulis sadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca. Wallahu ‘alam bisshowab.




[1] Muhammad Ismail Yusanto and Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam, VII (Jakarta: Gema Insani, 2008). hal. 17
[2] Muhamad, Prinsip-Prinsip Akuntansi Dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: UII Press, 2000).
[3] Yusanto and Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam. hal. 18
[4] Wahaba Al-Juhali, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, JUz IV, Damsyik, Dar Al-Fikr, 1989.
[5] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII, Ekonomi Islam, 1st ed. (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
[6] Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo, 2002).
[7] Yusanto and Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam. hal. 130
[8] Riyanto Sofyan, Bisnis Syariah, Mengapa Tidak? (Gramedia Pustaka Utama, n.d.).
[9] Dewi Rachmat Kusuma, “Kisah Pengusaha Hotel Syariah Yang Bisnisnya Makin Moncer,” March 24, 2014, http://finance.detik.com/read/2014/03/24/101951/2534366/1016/1/kisah-pengusaha-hotel-syariah-yang-bisnisnya-makin-moncer. (diakses tanggal 10 April 2014 pukul 11.12 WIB)